Wednesday, February 17, 2010
Tiga Bentuk Kebaikan
Tiga Bentuk Kebaikan
Seorang anak berkulit hitam melihat penjual balon di tempat keramaian. Penjual balon itu membiarkan sebuah balon merah lepas, membubung tinggi ke angkasa. Dengan demikian, ia menarik perhatian orang banyak yang akan menjadi pembelinya. Kemudian ia melepaskan balon biru, lalu kuning, kemudian putih. Semua lepas naik membubung tinggi ke langit dan tidak kelihatan lagi. Anak kecil berkulit hitam itu berdiri, terus memandang balon hitam lalu bertanya, ”Pak, kalau balon hitam itu dilepaskan, apakah juga akan naik membubung tinggi seperti balon-balon yang lain?”
Penjual balon itu tersenyum penuh pengertian kepada anak itu. Ia memutuskan benang yang mengikat balon hitam dan balon itu pun naik membubung tinggi. Ia pun kemudian berkata, ”Anakku, bukan warna, melainkan yang ada di dalamnya yang membuat balon itu naik.”
Kata-kata penjual balon tersebut begitu membekas pada diri si anak berkulit hitam yang di kemudian hari dikenal sebagai Martin Luther King Jr. Luther King yang dikenal karena pidatonya yang fenomenal di Lincoln Memorial Washington DC pada 1963 itu antara lain mengatakan, ”Aku bermimpi keempat anakku kelak akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak diukur berdasarkan warna kulit melainkan berdasarkan kepribadian asli mereka.”
Pembaca yang budiman, coba Anda renungkan kata-kata Luther King di atas dan tanyakan kepada diri Anda sendiri, bagaimana Anda menilai dan mengukur orang lain. Apakah Anda mengukur orang hanya berdasarkan apa yang tampak? Seorang penulis, B.C. Gorbes, pernah mengatakan, ”Ukuran tubuhmu kurang penting, ukuran otakmu agak penting, ukuran hatimu adalah yang terpenting.”
Saya kira ukuran hati inilah yang menentukan kualitas seorang manusia. Tentu saja, kualitas hati ini sulit dilihat. Kita hanya bisa melihat perilakunya. Dari hasil perenungan saya, saya menemukan tiga perilaku yang bisa menunjukkan kualitas seseorang.
Pertama, kemampuan mendengarkan dengan hati. Hal ini mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Ada banyak sekali orang yang bahkan tidak sanggup untuk sekadar mendengarkan pembicaraan orang lain sampai selesai. Mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka siap memotong pembicaraan Anda setiap saat. Mereka mendengarkan untuk menjawab, bukan untuk memahami.
Mendengarkan dengan hati bukanlah sekadar menangkap kata-kata, intonasi dan bahasa tubuh seseorang. Mendengarkan dengan hati adalah menangkap apa yang tersirat, menangkap apa yang ada di balik kata-kata. Orang yang mendengarkan dengan hati tidak akan berbicara dengan tergesa-gesa. Ia akan duduk di sana dan mendengarkan Anda dengan sungguh-sungguh. Ia akan membuat Anda merasa dihargai, dihormati dan dimuliakan. Ia memperhatikan semua kata-kata Anda. Baginya, tak ada sebuah kata pun yang tidak penting, tak ada sebuah ucapan pun yang bisa dianggap sepele.
Perilaku kedua adalah melakukan sesuatu pada orang yang tak akan bisa membalasnya. Saya kira inilah konsep ikhlas yang sebenar-benarnya. Hal ini penting untuk kita garisbawahi, karena jauh di lubuk hati kita yang paling dalam, ketika kita berbuat kebaikan pada seseorang, kita diam-diam sering berharap orang itu akan membalas kebaikan kita. Kebaikan seperti ini tentu saja bukanlah kebaikan murni, melainkan hanya kalkulasi bisnis biasa.
Coba tanyakan kepada diri Anda, mengapa Anda berbuat baik pada bawahan, pembantu atau sopir Anda? Bukankah kita menginginkan mereka membalas kebaikan kita dalam bentuk pengabdian dan kesetiaan? Mengapa Anda berbuat baik kepada atasan atau pelanggan Anda? Bukankah di sana terselip kepentingan untuk mendapatkan dukungan, perlindungan maupun proyek yang besar? Mengapa Anda berbuat baik kepada tetangga, masyarakat maupun orang-orang miskin yang Anda kenal? Bukankah di sana terselip keinginan agar mereka tidak mengganggu ketenangan Anda?
Jadi, yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa kualitas kita yang sesungguhnya tidak bisa diukur dari kebaikan yang kita lakukan kepada seseorang yang bisa membalasnya dengan cara apa pun. Kebaikan kita yang sejati adalah kebaikan yang kita lakukan kepada orang yang tidak kita kenal yang kita jumpai di jalan, kebaikan yang kita lakukan pada orang yang mungkin tak akan pernah bertemu dengan kita lagi, atau bahkan tak pernah mengenali kita sama sekali. Pada kebaikan-kebaikan semacam ini kita akan mendapatkan pengalaman spiritual yang amat mencerahkan.
Cara ketiga untuk mengukur diri kita adalah dengan melihat perilaku kita pada orang-orang yang sering dianggap tidak penting. Kepada orang yang kita anggap penting sudah tentu kita akan menghormatinya, mengatur pembicaraan kita dan menjaga hubungan dengan hati-hati. Ini semata-mata didasari pada kalkulasi kepentingan. Namun, bagaimanakah Anda memperlakukan orang-orang yang berada dalam posisi “lemah”: pramukantor, satpam, pembantu, sopir, dan orang-orang lain yang “tak berpengaruh” terhadap karier Anda? Apakah Anda berbicara dengan penuh sopan santun? Apakah Anda selalu mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan yang telah mereka lakukan?
Saya juga sering memperhatikan perilaku orang ketika menjawab telepon. Ada banyak orang yang kurang ramah bahkan terkesan galak ketika menjawab telepon, tetapi buru-buru mengubah gaya dan nada bicaranya begitu mengetahui siapa peneleponnya. Perilaku ini bagi saya hanya menginformasikan satu hal: orang ini hanya baik kepada orang-orang yang dikenalnya.
Kualitas seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia memperlakukan orang lain, bahkan kepada orang-orang yang memusuhinya. Orang-orang yang baik adalah mereka yang melihat persamaan di balik perbedaan. Mereka tidak terpengaruh penampilan luar, kekayaan dan jabatan karena mereka sadar bahwa manusia pada hakikatnya bukanlah makhluk fisik, melainkan makhluk spiritual. Dan bukankah dalam spiritualitas tak ada yang lebih penting dibandingkan dengan cinta?
Penjual balon itu tersenyum penuh pengertian kepada anak itu. Ia memutuskan benang yang mengikat balon hitam dan balon itu pun naik membubung tinggi. Ia pun kemudian berkata, ”Anakku, bukan warna, melainkan yang ada di dalamnya yang membuat balon itu naik.”
Kata-kata penjual balon tersebut begitu membekas pada diri si anak berkulit hitam yang di kemudian hari dikenal sebagai Martin Luther King Jr. Luther King yang dikenal karena pidatonya yang fenomenal di Lincoln Memorial Washington DC pada 1963 itu antara lain mengatakan, ”Aku bermimpi keempat anakku kelak akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak diukur berdasarkan warna kulit melainkan berdasarkan kepribadian asli mereka.”
Pembaca yang budiman, coba Anda renungkan kata-kata Luther King di atas dan tanyakan kepada diri Anda sendiri, bagaimana Anda menilai dan mengukur orang lain. Apakah Anda mengukur orang hanya berdasarkan apa yang tampak? Seorang penulis, B.C. Gorbes, pernah mengatakan, ”Ukuran tubuhmu kurang penting, ukuran otakmu agak penting, ukuran hatimu adalah yang terpenting.”
Saya kira ukuran hati inilah yang menentukan kualitas seorang manusia. Tentu saja, kualitas hati ini sulit dilihat. Kita hanya bisa melihat perilakunya. Dari hasil perenungan saya, saya menemukan tiga perilaku yang bisa menunjukkan kualitas seseorang.
Pertama, kemampuan mendengarkan dengan hati. Hal ini mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Ada banyak sekali orang yang bahkan tidak sanggup untuk sekadar mendengarkan pembicaraan orang lain sampai selesai. Mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka siap memotong pembicaraan Anda setiap saat. Mereka mendengarkan untuk menjawab, bukan untuk memahami.
Mendengarkan dengan hati bukanlah sekadar menangkap kata-kata, intonasi dan bahasa tubuh seseorang. Mendengarkan dengan hati adalah menangkap apa yang tersirat, menangkap apa yang ada di balik kata-kata. Orang yang mendengarkan dengan hati tidak akan berbicara dengan tergesa-gesa. Ia akan duduk di sana dan mendengarkan Anda dengan sungguh-sungguh. Ia akan membuat Anda merasa dihargai, dihormati dan dimuliakan. Ia memperhatikan semua kata-kata Anda. Baginya, tak ada sebuah kata pun yang tidak penting, tak ada sebuah ucapan pun yang bisa dianggap sepele.
Perilaku kedua adalah melakukan sesuatu pada orang yang tak akan bisa membalasnya. Saya kira inilah konsep ikhlas yang sebenar-benarnya. Hal ini penting untuk kita garisbawahi, karena jauh di lubuk hati kita yang paling dalam, ketika kita berbuat kebaikan pada seseorang, kita diam-diam sering berharap orang itu akan membalas kebaikan kita. Kebaikan seperti ini tentu saja bukanlah kebaikan murni, melainkan hanya kalkulasi bisnis biasa.
Coba tanyakan kepada diri Anda, mengapa Anda berbuat baik pada bawahan, pembantu atau sopir Anda? Bukankah kita menginginkan mereka membalas kebaikan kita dalam bentuk pengabdian dan kesetiaan? Mengapa Anda berbuat baik kepada atasan atau pelanggan Anda? Bukankah di sana terselip kepentingan untuk mendapatkan dukungan, perlindungan maupun proyek yang besar? Mengapa Anda berbuat baik kepada tetangga, masyarakat maupun orang-orang miskin yang Anda kenal? Bukankah di sana terselip keinginan agar mereka tidak mengganggu ketenangan Anda?
Jadi, yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa kualitas kita yang sesungguhnya tidak bisa diukur dari kebaikan yang kita lakukan kepada seseorang yang bisa membalasnya dengan cara apa pun. Kebaikan kita yang sejati adalah kebaikan yang kita lakukan kepada orang yang tidak kita kenal yang kita jumpai di jalan, kebaikan yang kita lakukan pada orang yang mungkin tak akan pernah bertemu dengan kita lagi, atau bahkan tak pernah mengenali kita sama sekali. Pada kebaikan-kebaikan semacam ini kita akan mendapatkan pengalaman spiritual yang amat mencerahkan.
Cara ketiga untuk mengukur diri kita adalah dengan melihat perilaku kita pada orang-orang yang sering dianggap tidak penting. Kepada orang yang kita anggap penting sudah tentu kita akan menghormatinya, mengatur pembicaraan kita dan menjaga hubungan dengan hati-hati. Ini semata-mata didasari pada kalkulasi kepentingan. Namun, bagaimanakah Anda memperlakukan orang-orang yang berada dalam posisi “lemah”: pramukantor, satpam, pembantu, sopir, dan orang-orang lain yang “tak berpengaruh” terhadap karier Anda? Apakah Anda berbicara dengan penuh sopan santun? Apakah Anda selalu mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan yang telah mereka lakukan?
Saya juga sering memperhatikan perilaku orang ketika menjawab telepon. Ada banyak orang yang kurang ramah bahkan terkesan galak ketika menjawab telepon, tetapi buru-buru mengubah gaya dan nada bicaranya begitu mengetahui siapa peneleponnya. Perilaku ini bagi saya hanya menginformasikan satu hal: orang ini hanya baik kepada orang-orang yang dikenalnya.
Kualitas seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia memperlakukan orang lain, bahkan kepada orang-orang yang memusuhinya. Orang-orang yang baik adalah mereka yang melihat persamaan di balik perbedaan. Mereka tidak terpengaruh penampilan luar, kekayaan dan jabatan karena mereka sadar bahwa manusia pada hakikatnya bukanlah makhluk fisik, melainkan makhluk spiritual. Dan bukankah dalam spiritualitas tak ada yang lebih penting dibandingkan dengan cinta?
Oleh : Arvan Pradiansyah
Jangan Pernah Berhenti
Jangan Pernah Berhenti
Sejumlah sejarahwan yakin, bahwa pidato Winston Churchill yang paling berpengaruh adalah ketika beliau berpidato di wisuda Universitas Oxford. Churchill mempersiapkan pidato ini selama berjam-jam. Dan ketika saat pidatonya tiba, Churchill hanya mengucapkan tiga kata : ‘never give up’ (jangan pernah berhenti).
Sejenak saya merasa ini biasa-biasa saja. Tetapi ketika ada orang yang bertanya ke saya, bagaimana saya bisa berpresentasi di depan publik dengan cara yang demikian menguasai, saya teringat lagi pidato Churchill ini.
Banyak orang berfikir kalau saya bisa berbicara di depan publik seperti sekarang sudah sejak awal. Tentu saja semua itu tidak benar. Awalnya, saya adalah seorang pemalu, mudah tersinggung, takut bergaul dan minder.
Dan ketika memulai profesi pembicara publik, sering sekali saya dihina, dilecehkan dan direndahkan orang. Dari lafal ‘T’ yang tidak pernah lempeng, kaki seperti cacing kepanasan, tidak bisa membuat orang tertawa, pembicaraan yang terlalu teoritis, istilah-istilah canggih yang tidak perlu, serta segudang kelemahan lainnya.
Tidak bisa tidur beberapa minggu, stress atau jatuh sakit, itu sudah biasa. Pernah bahkan oleh murid dianjurkan agar saya dipecat saja menjadi dosen di tempat saya mengajar.Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh banyak agen asuransi jempolan. Ditolak, dibanting pintu, dihina, dicurigai orang, sampaidengan dilecehkan mungkin sudah kebal. Pejuang kemanusiaan seperti Nelson Mandela dan Kim Dae Jung juga demikian. Tabungan kesulitan yang mereka miliki demikian menggunung. Dari dipenjara,hampir dibunuh, disiksa, dikencingin, tetapi toh tidak berhenti berjuang.
Apa yang ada di balik semua pengalaman ini, rupanya di balik sikap ulet untuk tidak pernah berhenti ini, sering bersembunyi banyak kesempurnaan hidup. Mirip dengan air yang menetesi batu yang sama berulang-ulang, hanya karena sikap tidak pernah berhentilah yang membuat batu berlobang.
Besi hanya menjadi pisau setelah ditempa palu besar berulang-ulang, dan dibakar api panas ratusan derajat celsius. Pohon beringin besar yang berumur ratusan tahun, berhasil melewati ribuan angin ribut, jutaan hujan, dan berbagai godaan yang meruntuhkan.Di satu kesempatan di awal Juni 1999, sambil menemani istri dan anak-anak, saya sempat makan malam di salah satu restoran di depan hotel Hyatt Sanur Bali. Yang membuat kejadian ini demikian terkenang, karena di restoran ini saya dan istri bertemu dengan seorang penyanyi penghibur yang demikian menghibur.
Pria dengan wajah biasa-biasa ini, hanya memainkan musik dan bernyanyi seorang diri. Modalnya, hanya sebuah gitar dan sebuah organ. Akan tetapi, ramuan musik yang dihasilkan demikian mengagumkan. Saya dan istri telah masuk banyak restoran dan kafe. Namun, ramuan musik yang dihadirkan penyanyi dan pemusik solo ini demikian menyentuh. Hampir setiap lagu yang ia nyanyikan mengundang kagum saya, istri dan banyak turis lainnya. Rasanya susah sekali melupakan kenangan manis bersamapenyanyi ini. Sejumlah uang tip serta ucapan terimakasih saya yang dalam, tampaknya belum cukup untuk membayar keterhiburan saya dan istri.
Di satu kesempatan menginap di salah satu guest house Caltex Pacific Indonesia di Pekan Baru, sekali lagi saya bertemu seorang manusia mengagumkan. House boy (baca : pembantu) yang bertanggungjawab terhadap guest house yang saya tempati demikian menyentuh hati saya. Setiap gerakan kerjanya dilakukan sambil bersiul. Atau setidaknya sambil bergembira dan tersenyum kecil. Hampir semua hal yang ada di kepala, tanpa perlu diterjemahkan ke dalam perintah, ia laksanakan dengan sempurna. Purwanto, demikian nama pegawai kecil ini, melakoni profesinya dengan tanpa keluhan.
Bedanya penyanyi Sanur di atas serta Purwanto dengan manusia kebanyakan, semakin lama dan semakin rutinnya pekerjaan dilakukan, ia tidak diikuti oleh kebosanan yang kemudian disertai oleh keinginan untuk berhenti.Ketika timbul rasa bosan dalam mengajar, ada godaan politicking kotor di kantor yang diikuti keinginan ego untuk berhenti, atau jenuh menulis, saya malu dengan penyanyi Sanur dan house boy di atas. Di tengah demikian menyesakkannya rutinitas, demikian monotonnya kehidupan, kedua orang di atas, seakan-akan faham betul dengan pidato Winston Churchill : “never give up.”Anda boleh mengagumi tulisan ini, atau juga mengagumi saya, tetapi Anda sebenarnya lebih layak kagum pada penyanyi Sanur dan house boy di atas. Tanpa banyak teori, tanpa perlu menulis, tanpa perlu menggurui, mereka sedang melaksanakan profesinya dengan prinsip sederhana : “jangan pernah berhenti.”
Saya kerap merasa rendah dan hina di depan manusia seperti penyanyi dan pembantu di atas. Bayangkan, sebagai konsultan, pembicara publik dan direktur sebuah perusahaan swasta, tentu saja saya berada pada status sosial yang lebih tinggi dan berpenghasilan lebih besar dibandingkan mereka. Akan tetapi, mereka memiliki mental “never give up” yang lebih mengagumkan.Kadang saya sempat berfikir, jangan-jangan tingkatan sosial dan penghasilan yang lebih tinggi, tidak membuat mental “never give up” semakin kuat.
Kalau ini benar, orang-orang bawah seperti pembantu, pedagang bakso, satpam, supir, penyanyi rendahan, dan tukang kebunlah guru-guru sejati kita.
Jangan-jangan pidato inspiratif Winston Churchill - sebagaimana dikutip di awal - justru diperoleh dari guru-guru terakhir.
Sejenak saya merasa ini biasa-biasa saja. Tetapi ketika ada orang yang bertanya ke saya, bagaimana saya bisa berpresentasi di depan publik dengan cara yang demikian menguasai, saya teringat lagi pidato Churchill ini.
Banyak orang berfikir kalau saya bisa berbicara di depan publik seperti sekarang sudah sejak awal. Tentu saja semua itu tidak benar. Awalnya, saya adalah seorang pemalu, mudah tersinggung, takut bergaul dan minder.
Dan ketika memulai profesi pembicara publik, sering sekali saya dihina, dilecehkan dan direndahkan orang. Dari lafal ‘T’ yang tidak pernah lempeng, kaki seperti cacing kepanasan, tidak bisa membuat orang tertawa, pembicaraan yang terlalu teoritis, istilah-istilah canggih yang tidak perlu, serta segudang kelemahan lainnya.
Tidak bisa tidur beberapa minggu, stress atau jatuh sakit, itu sudah biasa. Pernah bahkan oleh murid dianjurkan agar saya dipecat saja menjadi dosen di tempat saya mengajar.Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh banyak agen asuransi jempolan. Ditolak, dibanting pintu, dihina, dicurigai orang, sampaidengan dilecehkan mungkin sudah kebal. Pejuang kemanusiaan seperti Nelson Mandela dan Kim Dae Jung juga demikian. Tabungan kesulitan yang mereka miliki demikian menggunung. Dari dipenjara,hampir dibunuh, disiksa, dikencingin, tetapi toh tidak berhenti berjuang.
Apa yang ada di balik semua pengalaman ini, rupanya di balik sikap ulet untuk tidak pernah berhenti ini, sering bersembunyi banyak kesempurnaan hidup. Mirip dengan air yang menetesi batu yang sama berulang-ulang, hanya karena sikap tidak pernah berhentilah yang membuat batu berlobang.
Besi hanya menjadi pisau setelah ditempa palu besar berulang-ulang, dan dibakar api panas ratusan derajat celsius. Pohon beringin besar yang berumur ratusan tahun, berhasil melewati ribuan angin ribut, jutaan hujan, dan berbagai godaan yang meruntuhkan.Di satu kesempatan di awal Juni 1999, sambil menemani istri dan anak-anak, saya sempat makan malam di salah satu restoran di depan hotel Hyatt Sanur Bali. Yang membuat kejadian ini demikian terkenang, karena di restoran ini saya dan istri bertemu dengan seorang penyanyi penghibur yang demikian menghibur.
Pria dengan wajah biasa-biasa ini, hanya memainkan musik dan bernyanyi seorang diri. Modalnya, hanya sebuah gitar dan sebuah organ. Akan tetapi, ramuan musik yang dihasilkan demikian mengagumkan. Saya dan istri telah masuk banyak restoran dan kafe. Namun, ramuan musik yang dihadirkan penyanyi dan pemusik solo ini demikian menyentuh. Hampir setiap lagu yang ia nyanyikan mengundang kagum saya, istri dan banyak turis lainnya. Rasanya susah sekali melupakan kenangan manis bersamapenyanyi ini. Sejumlah uang tip serta ucapan terimakasih saya yang dalam, tampaknya belum cukup untuk membayar keterhiburan saya dan istri.
Di satu kesempatan menginap di salah satu guest house Caltex Pacific Indonesia di Pekan Baru, sekali lagi saya bertemu seorang manusia mengagumkan. House boy (baca : pembantu) yang bertanggungjawab terhadap guest house yang saya tempati demikian menyentuh hati saya. Setiap gerakan kerjanya dilakukan sambil bersiul. Atau setidaknya sambil bergembira dan tersenyum kecil. Hampir semua hal yang ada di kepala, tanpa perlu diterjemahkan ke dalam perintah, ia laksanakan dengan sempurna. Purwanto, demikian nama pegawai kecil ini, melakoni profesinya dengan tanpa keluhan.
Bedanya penyanyi Sanur di atas serta Purwanto dengan manusia kebanyakan, semakin lama dan semakin rutinnya pekerjaan dilakukan, ia tidak diikuti oleh kebosanan yang kemudian disertai oleh keinginan untuk berhenti.Ketika timbul rasa bosan dalam mengajar, ada godaan politicking kotor di kantor yang diikuti keinginan ego untuk berhenti, atau jenuh menulis, saya malu dengan penyanyi Sanur dan house boy di atas. Di tengah demikian menyesakkannya rutinitas, demikian monotonnya kehidupan, kedua orang di atas, seakan-akan faham betul dengan pidato Winston Churchill : “never give up.”Anda boleh mengagumi tulisan ini, atau juga mengagumi saya, tetapi Anda sebenarnya lebih layak kagum pada penyanyi Sanur dan house boy di atas. Tanpa banyak teori, tanpa perlu menulis, tanpa perlu menggurui, mereka sedang melaksanakan profesinya dengan prinsip sederhana : “jangan pernah berhenti.”
Saya kerap merasa rendah dan hina di depan manusia seperti penyanyi dan pembantu di atas. Bayangkan, sebagai konsultan, pembicara publik dan direktur sebuah perusahaan swasta, tentu saja saya berada pada status sosial yang lebih tinggi dan berpenghasilan lebih besar dibandingkan mereka. Akan tetapi, mereka memiliki mental “never give up” yang lebih mengagumkan.Kadang saya sempat berfikir, jangan-jangan tingkatan sosial dan penghasilan yang lebih tinggi, tidak membuat mental “never give up” semakin kuat.
Kalau ini benar, orang-orang bawah seperti pembantu, pedagang bakso, satpam, supir, penyanyi rendahan, dan tukang kebunlah guru-guru sejati kita.
Jangan-jangan pidato inspiratif Winston Churchill - sebagaimana dikutip di awal - justru diperoleh dari guru-guru terakhir.
Penulis: Gede Prama
KUMPULKANLAH KEMBALI KAPAS-KAPAS
KUMPULKANLAH KEMBALI KAPAS-KAPAS
Dikisahkan, ada seorang pedagang yang kaya raya dan berpengaruh di kalangan masyarakat. Kegiatannya berdagang mengharuskan dia sering keluar kota . Suatu saat, karena pergaulan yang salah, dia mulai berjudi dan bertaruh.
Mula-mula kecil-kecilan, tetapi karena tidak dapat menahan nafsu untuk menang dan mengembalikan kekalahannya, si pedagang semakin gelap mata, dan akhirnya uang hasil jerih payahnya selama ini banyak terkuras di meja judi. Istri dan anak-anaknya terlantar dan mereka jatuh miskin.
Orang luar tidak ada yang tahu tentang kebiasaannya berjudi, maka untuk menutupi hal tersebut, dia mulai menyebar fitnah, bahwa kebangkrutannya karena orang kepercayaan, sahabatnya, mengkhianati dia dan menggelapkan banyak uangnya. Kabar itu semakin hari semakin menyebar, sehingga sahabat yang setia itu, jatuh sakit. Mereka sekeluarga sangat menderita, disorot dengan pandangan curiga oleh masyarakat di sekitarnya dan dikucilkan dari pergaulan.
Si pedagang tidak pernah mengira, dampak perbuatannya demikian buruk. Dia bergegas datang menengok sekaligus memohon maaf kepada si sahabat "Sobat, aku mengaku salah! Tidak seharusnya aku menimpakan perbuatan burukku dengan menyebar fitnah kepadamu. Sungguh, aku menyesal dan minta maaf. Apakah ada yang bisa aku kerjakan untuk menebus kesalahan yang telah kuperbuat?"
Dengan kondisi yang semakin lemah, si sahabat berkata, "Ada dua permintaanku. Pertama, tolong ambillah bantal dan bawalah ke atap rumah. Sesampainya di sana, ambillah kapas dari dalam bantal dan sebarkan keluar sedikit demi sedikit."
Walaupun tidak mengerti apa arti permintaan yang aneh itu, demi menebus dosa, segera dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kapas habis disebar, dia kembali menemui laki-laki yang sekarat itu.
"Permintaanmu telah aku lakukan, apa permintaanmu yang kedua?"
"Sekarang, kumpulkan kapas-kapas yang telah kau sebarkan tadi," kata si sahabat dengan suara yang semakin lemah.
Si pedagang terdiam sejenak dan menjawab dengan sedih, "Maaf sobat, aku tidak sanggup mengabulkan permintaanmu ini. Kapas-kapas telah menyebar ke mana-mana, tidak mungkin bisa dikumpulkan lagi."
"Begitu juga dengan berita bohong yang telah kau sebarkan, berita itu takkan berakhir hanya dengan permintaan maaf dan penyesalanmu saja," kata si sakit.
"Aku tahu. Engkau sungguh sahabat sejatiku. Walaupun aku telah berbuat salah yang begitu besar tetapi engkau tetap mau memberi pelajaran yang sangat berharga bagi diriku. Aku bersumpah, akan berusaha semampuku untuk memperbaiki kerusakan yang telah kuperbuat, sekali lagi maafkan aku dan terima kasih sobat." Dengan suara terbata-bata dan berlinang air mata, dipeluklah sahabatnya.
Netter yang luar biasa.…
Seperti kata pepatah mengatakan, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kebohongan tidak berakhir dengan penyesalan dan permintaan maaf. Seringkali sulit bagi kita untuk menerima kesalahan yang telah kita perbuat. Bila mungkin, orang lainlah yang menanggung akibat kesalahan kita.
Kalau memang itu yang akan terjadi, lalu untuk apa melakukan fitnah yang hanya membuat orang lain menderita. Tentu… jauh lebih nikmat bisa melakukan sesuatu yang membuat orang lain berbahagia.
Mula-mula kecil-kecilan, tetapi karena tidak dapat menahan nafsu untuk menang dan mengembalikan kekalahannya, si pedagang semakin gelap mata, dan akhirnya uang hasil jerih payahnya selama ini banyak terkuras di meja judi. Istri dan anak-anaknya terlantar dan mereka jatuh miskin.
Orang luar tidak ada yang tahu tentang kebiasaannya berjudi, maka untuk menutupi hal tersebut, dia mulai menyebar fitnah, bahwa kebangkrutannya karena orang kepercayaan, sahabatnya, mengkhianati dia dan menggelapkan banyak uangnya. Kabar itu semakin hari semakin menyebar, sehingga sahabat yang setia itu, jatuh sakit. Mereka sekeluarga sangat menderita, disorot dengan pandangan curiga oleh masyarakat di sekitarnya dan dikucilkan dari pergaulan.
Si pedagang tidak pernah mengira, dampak perbuatannya demikian buruk. Dia bergegas datang menengok sekaligus memohon maaf kepada si sahabat "Sobat, aku mengaku salah! Tidak seharusnya aku menimpakan perbuatan burukku dengan menyebar fitnah kepadamu. Sungguh, aku menyesal dan minta maaf. Apakah ada yang bisa aku kerjakan untuk menebus kesalahan yang telah kuperbuat?"
Dengan kondisi yang semakin lemah, si sahabat berkata, "Ada dua permintaanku. Pertama, tolong ambillah bantal dan bawalah ke atap rumah. Sesampainya di sana, ambillah kapas dari dalam bantal dan sebarkan keluar sedikit demi sedikit."
Walaupun tidak mengerti apa arti permintaan yang aneh itu, demi menebus dosa, segera dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kapas habis disebar, dia kembali menemui laki-laki yang sekarat itu.
"Permintaanmu telah aku lakukan, apa permintaanmu yang kedua?"
"Sekarang, kumpulkan kapas-kapas yang telah kau sebarkan tadi," kata si sahabat dengan suara yang semakin lemah.
Si pedagang terdiam sejenak dan menjawab dengan sedih, "Maaf sobat, aku tidak sanggup mengabulkan permintaanmu ini. Kapas-kapas telah menyebar ke mana-mana, tidak mungkin bisa dikumpulkan lagi."
"Begitu juga dengan berita bohong yang telah kau sebarkan, berita itu takkan berakhir hanya dengan permintaan maaf dan penyesalanmu saja," kata si sakit.
"Aku tahu. Engkau sungguh sahabat sejatiku. Walaupun aku telah berbuat salah yang begitu besar tetapi engkau tetap mau memberi pelajaran yang sangat berharga bagi diriku. Aku bersumpah, akan berusaha semampuku untuk memperbaiki kerusakan yang telah kuperbuat, sekali lagi maafkan aku dan terima kasih sobat." Dengan suara terbata-bata dan berlinang air mata, dipeluklah sahabatnya.
Netter yang luar biasa.…
Seperti kata pepatah mengatakan, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kebohongan tidak berakhir dengan penyesalan dan permintaan maaf. Seringkali sulit bagi kita untuk menerima kesalahan yang telah kita perbuat. Bila mungkin, orang lainlah yang menanggung akibat kesalahan kita.
Kalau memang itu yang akan terjadi, lalu untuk apa melakukan fitnah yang hanya membuat orang lain menderita. Tentu… jauh lebih nikmat bisa melakukan sesuatu yang membuat orang lain berbahagia.
Salam sukses luar biasa![aw]
Andrie Wongso
Andrie Wongso
Killer statement
Killer statement
Ada sebuah istilah komunikasi negatif dalam Kecerdasan Emosional yang disebut killer statement. Apa itu killer statement? Gampangnya, killer statement itu adalah segala bentuk pernyataan kita yang kita keluarkan, sadar maupun tidak, tetapi melukai dan mampu merusak mental maupun semangat orang lain.
Jenis-jenis killer statement ini, tanpa sadar kita dengar setiap hari, atau barangkali tanpa sadar kita keluarkan dengan maksud bercanda, memotivasi, tapi justru merusak. Nah, kalimat-kalimat perusak jiwa yang menghasilkan perasaan yang negatif pada diri seseorang itulah yang seringkali kita sebut killer statement.
Menariknya, sejarah dunia komik pun pernah mencatat akibat buruk dari killer statement yang pernah diterima oleh dua anak bernama Jerry Siegel dan Joe Shuster. Kisahnya begini. Di masa depresi yang melanda Amerika pada 1933, Jeery Siegel mempunyai ide menciptakan seorang tokoh pahlawan anak-anak yang mempunyai kemampuan luar biasa.
Tenaganya lebih kuat dari besi, bisa terbang dan asalnya dari planet lain. Maka, bersama dengan temannya yakni Joe Shuster yang pandai melukis, diciptakanlah untuk pertama kalinya gambaran manusia baja tersebut. Tetapi gambaran komik manusia super itu tidaklah begitu menarik. Kecaman dan kritikan diterima.
Selama enam tahun berturut-turut komiknya pun ditolak sana-sini. Hingga akhirnya, puncak kehancuran mental Siegel dan Shuster terjadi saat mereka mendengar ada editor dari Detective Comics yang membutuhkan komik strips. Lantas mereka pun mencoba menjual kepada mereka.
Tapi, saat membuka-buka dan menlihat gambaran komik mereka, para editor pun tertawa dan berkata, "Wah, nggak akan ada yang percaya dengan ide komik seperti ini. Gambarnya murahan dan tak mungkin laku dijual". Maka, karena sudah terlalu frustrasi dengan penolakan dan kalimat yang menghancurkan itu, Shuster dan Siegel akhirnya sepakat menjual komik serta segala hak ciptanya kepada Detective Comics hanya senilai US$130.
Perhatikan baik-baik, hanya seharga US$130 ! Tapi, itulah kesalahan terbesar Siegel dan Shuster akibat terlalu mendengarkan killer statement yang diterimnya. Karena, beberapa saat setelah komiknya dibeli, karakter komiknya ternyata menjadi pujaan. Anda pasti bisa menebak. Itulah tokoh Superman, manusia Krypton dengan kemampuan terbang, penglihatan super serta kekuatan fisik yang luar biasa.
Komik Superman menjadi begitu laris, hingga difilmkan, karakternya menjadi tokoh idola anak-anak. Sementara Shuster dan Siegel, penciptanya yang pertama, hanya bisa gigit jari. Tokoh Superman menjadi populer dan meraup keuntungan miliaran dolar AS. Tapi tokoh penciptanya hanya mendapat US$130, bahkan hidup dalam utang dan kemiskinan.
Untungnya, pada 1975 setelah mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari publik yang menganggap Detective Comics tidak berperikemanusiaan dengan membiarkan pencipta Superman hidup dalam miskin, akhirnya Detective Comics sepakat memberikan jaminan finansial. Tetapi, kalau kita melihat kembali, itulah harga dari sebuah killer statement yang telah menghancurkan karir dan kehidupan dua orang bocah bernama Shuster dan Siegel.
Pembaca, kisah ini kiranya membuat kita sadar akan bahaya dari killer statement dalam hubungan interpersonal kita. Memang, kadang killer statement ini diucapkan tidak dengan intensi yang negatif, tapi dampaknya, sungguh merusak! Namun, bisa juga killer statement ini diucapkan dengan maksud khusus untuk menjatuhkan mental orang yang mendengarnya.
Tip penting
Untuk itu, ada beberapa tip penting bagi kita. Pertama, hati-hati dengan killer statement yang mungkin kita ucapkan baik kepada anak kita, pasangan hidup kita, rekan kerja maupun bawahan kita. Killer statement ini menunjukkan bahwa kalimat yang diucapkan tanpa pertimbangan, bisa membunuh potensi, kemampuan maupun karakter baik seseorang.
Karena itu, kalaupun Anda sedang stress, sedang tidak dalam kondisi mood untuk bicara, merasa tidak puas dengan hasilnya, ataupun merasa tidak suka dengan apa yang Anda saksikan, usahakan untuk menghindari menggunakan kalimat yang bernada menghancurkan atau mencela.
Kedua, kita sendiri sebagai orang yang akan dan biasa menerima killer statement dari orang-orang di sekitar kita, lebih baik kita siapkan anti virus bagi kita sendiri. Anti virus ini berisi kalimat lain yang kita ucapkan pada diri kita sendiri, meskipun orang lain sudah mengatakan killer statement itu kepada kita.
Dalam workshop Kecerdasan Emosional yang kami lakukan, salah satu latihan yang kami berikan adalah dengan menggunakan kalimat penguatan positif yang cepat menetralkan meskipun orang lain telah mengatakan hal yang buruk kepada Anda.
Menariknya, juga di salah satu acara kontes menyanyi, ada seorang penyanyi kodang yang sudah tua, tapi diundang menjadi tamu untuk juri. Saat itu ada seorang penyanyi yang mendapat penilaian buruk dan akhirnya tersingkir. Saat sebelum mundur, si penyanyi tua ini memberikan nasihat, "Jangan pedulikan hasil penilaian ini buatmu. Yang penting adalah kuatkanlah dirimu terus. Sayapun tidak pernah menjuarai kontes menyanyi, toh dengan kegigihan, saya bisa menjadi seorang penyanyi. Teruslah berlatih dan buktikan dirimu bisa berhasil". Wow, mata saya berkaca-kaca mendengar motivasi dari sang artis dan bintang penyanyi tua ini.
Sungguh suatu kata-kata penguatan yang luar biasa. Andapun harus mengatakan hal yang sama kepada diri Anda, saat Anda diberikan kata-kata negatif ataupun killer statement. Ingatlah pembaca, jangan sampai potensi dan kemampuan Anda dirusak oleh kata-kata dari kalimat orang yang tidak bertanggung jawab. Merekalah yang sebenarnya punya masalah dengan diri mereka. Jangan biarkan mereka merusak diri Anda. Jangan biarkan mereka mencuri mimpi Anda.
Jenis-jenis killer statement ini, tanpa sadar kita dengar setiap hari, atau barangkali tanpa sadar kita keluarkan dengan maksud bercanda, memotivasi, tapi justru merusak. Nah, kalimat-kalimat perusak jiwa yang menghasilkan perasaan yang negatif pada diri seseorang itulah yang seringkali kita sebut killer statement.
Menariknya, sejarah dunia komik pun pernah mencatat akibat buruk dari killer statement yang pernah diterima oleh dua anak bernama Jerry Siegel dan Joe Shuster. Kisahnya begini. Di masa depresi yang melanda Amerika pada 1933, Jeery Siegel mempunyai ide menciptakan seorang tokoh pahlawan anak-anak yang mempunyai kemampuan luar biasa.
Tenaganya lebih kuat dari besi, bisa terbang dan asalnya dari planet lain. Maka, bersama dengan temannya yakni Joe Shuster yang pandai melukis, diciptakanlah untuk pertama kalinya gambaran manusia baja tersebut. Tetapi gambaran komik manusia super itu tidaklah begitu menarik. Kecaman dan kritikan diterima.
Selama enam tahun berturut-turut komiknya pun ditolak sana-sini. Hingga akhirnya, puncak kehancuran mental Siegel dan Shuster terjadi saat mereka mendengar ada editor dari Detective Comics yang membutuhkan komik strips. Lantas mereka pun mencoba menjual kepada mereka.
Tapi, saat membuka-buka dan menlihat gambaran komik mereka, para editor pun tertawa dan berkata, "Wah, nggak akan ada yang percaya dengan ide komik seperti ini. Gambarnya murahan dan tak mungkin laku dijual". Maka, karena sudah terlalu frustrasi dengan penolakan dan kalimat yang menghancurkan itu, Shuster dan Siegel akhirnya sepakat menjual komik serta segala hak ciptanya kepada Detective Comics hanya senilai US$130.
Perhatikan baik-baik, hanya seharga US$130 ! Tapi, itulah kesalahan terbesar Siegel dan Shuster akibat terlalu mendengarkan killer statement yang diterimnya. Karena, beberapa saat setelah komiknya dibeli, karakter komiknya ternyata menjadi pujaan. Anda pasti bisa menebak. Itulah tokoh Superman, manusia Krypton dengan kemampuan terbang, penglihatan super serta kekuatan fisik yang luar biasa.
Komik Superman menjadi begitu laris, hingga difilmkan, karakternya menjadi tokoh idola anak-anak. Sementara Shuster dan Siegel, penciptanya yang pertama, hanya bisa gigit jari. Tokoh Superman menjadi populer dan meraup keuntungan miliaran dolar AS. Tapi tokoh penciptanya hanya mendapat US$130, bahkan hidup dalam utang dan kemiskinan.
Untungnya, pada 1975 setelah mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari publik yang menganggap Detective Comics tidak berperikemanusiaan dengan membiarkan pencipta Superman hidup dalam miskin, akhirnya Detective Comics sepakat memberikan jaminan finansial. Tetapi, kalau kita melihat kembali, itulah harga dari sebuah killer statement yang telah menghancurkan karir dan kehidupan dua orang bocah bernama Shuster dan Siegel.
Pembaca, kisah ini kiranya membuat kita sadar akan bahaya dari killer statement dalam hubungan interpersonal kita. Memang, kadang killer statement ini diucapkan tidak dengan intensi yang negatif, tapi dampaknya, sungguh merusak! Namun, bisa juga killer statement ini diucapkan dengan maksud khusus untuk menjatuhkan mental orang yang mendengarnya.
Tip penting
Untuk itu, ada beberapa tip penting bagi kita. Pertama, hati-hati dengan killer statement yang mungkin kita ucapkan baik kepada anak kita, pasangan hidup kita, rekan kerja maupun bawahan kita. Killer statement ini menunjukkan bahwa kalimat yang diucapkan tanpa pertimbangan, bisa membunuh potensi, kemampuan maupun karakter baik seseorang.
Karena itu, kalaupun Anda sedang stress, sedang tidak dalam kondisi mood untuk bicara, merasa tidak puas dengan hasilnya, ataupun merasa tidak suka dengan apa yang Anda saksikan, usahakan untuk menghindari menggunakan kalimat yang bernada menghancurkan atau mencela.
Kedua, kita sendiri sebagai orang yang akan dan biasa menerima killer statement dari orang-orang di sekitar kita, lebih baik kita siapkan anti virus bagi kita sendiri. Anti virus ini berisi kalimat lain yang kita ucapkan pada diri kita sendiri, meskipun orang lain sudah mengatakan killer statement itu kepada kita.
Dalam workshop Kecerdasan Emosional yang kami lakukan, salah satu latihan yang kami berikan adalah dengan menggunakan kalimat penguatan positif yang cepat menetralkan meskipun orang lain telah mengatakan hal yang buruk kepada Anda.
Menariknya, juga di salah satu acara kontes menyanyi, ada seorang penyanyi kodang yang sudah tua, tapi diundang menjadi tamu untuk juri. Saat itu ada seorang penyanyi yang mendapat penilaian buruk dan akhirnya tersingkir. Saat sebelum mundur, si penyanyi tua ini memberikan nasihat, "Jangan pedulikan hasil penilaian ini buatmu. Yang penting adalah kuatkanlah dirimu terus. Sayapun tidak pernah menjuarai kontes menyanyi, toh dengan kegigihan, saya bisa menjadi seorang penyanyi. Teruslah berlatih dan buktikan dirimu bisa berhasil". Wow, mata saya berkaca-kaca mendengar motivasi dari sang artis dan bintang penyanyi tua ini.
Sungguh suatu kata-kata penguatan yang luar biasa. Andapun harus mengatakan hal yang sama kepada diri Anda, saat Anda diberikan kata-kata negatif ataupun killer statement. Ingatlah pembaca, jangan sampai potensi dan kemampuan Anda dirusak oleh kata-kata dari kalimat orang yang tidak bertanggung jawab. Merekalah yang sebenarnya punya masalah dengan diri mereka. Jangan biarkan mereka merusak diri Anda. Jangan biarkan mereka mencuri mimpi Anda.
oleh : Anthony Dio Martin
HABITUS ORANG KAYA
HABITUS ORANG KAYA
Manusia membangun habitus secara perlahan.
Dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya.
~ Pandir Karya
”Apakah habitus orang kaya yang paling umum?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Mereka super pelit,” kata Iin.
”Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong,” jawab Toni.
”Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat,” kata Herlina.
”Tidak suka berhutang,” ujar Didi.
”Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya,” jelas Diah.
”Mereka suka memamerkan kekayaannya,” kata Rudy.
”Cenderung serakah dan asosial,” gagas Yuyun.
”Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal,” ujar Lilik.
”Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya,” papar Dewi.
”Suka bangun siang dan tidur dini hari,” kata Indra.
***
”Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan, atau penampilan diri, yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat… bersifat spontan, tidak disadari pelakunya apakah itu terpuji atau tercela, seperti orang tak sadar akan bau mulutnya. Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok sosial,” demikian antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember 2005).
Perhatikan bahwa habitus ”...telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging”, ”bersifat spontan”, ”tidak disadari pelakunya”, dan bisa menunjuk kepada ”kelompok sosial” tertentu. Nah, dengan pemahaman ini, mari kita coba pikirkan, apa sajakah habitus kelompok sosial ekonomi atas (baca: orang-orang kaya dan super kaya) yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, bersifat spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat reflek)?
Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku orang-orang kaya di Amerika dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai perilaku sejumlah kawan yang kaya di Indonesia , sekurang-kurangnya bisa disebutkan beberapa habitus yang saling kait mengait satu sama lain sebegai berikut.
Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting, mereka menikmati hidup dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang sebenarnya. Artinya, secara keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak oleh mata lingkungannya. Mereka lebih kaya dari apa yang mungkin dipikirkan orang lain di sekitar mereka (tetangganya). Bila mereka sesungguhnya mampu membeli rumah seharga Rp 10 miliar, maka mereka senang memilih rumah seharga Rp 1 miliar. Jika mereka mampu membeli mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang memilih mobil seharga Rp 600 juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu membeli barang-barang yang dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan mewah macam Sogo Departemen Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di pusat belanja grosir seperti di ITC Mangga Dua.
Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih lebih dari Rp 20 miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah mengatakan kepada saja bahwa, ”Saya menganut pandangan bahwa apa pun yang kita gunakan dan nampak oleh orang lain seharusnya tidak lebih dari sepertiga kekuatan kita yang sesungguhnya. Dan kalau saya bisa menggunakan sepertigapuluh atau bahkan sepertigaratus dari kemampuan finansial saya untuk hidup nyaman, itu sudah cukup. Saya tidak suka dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya lebih suka dikenal sebagai orang yang berkarya”. Pernyataan ini dengan tegas menunjukkan bahwa ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya.
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya, maka mereka—orang-orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya konsumsi mereka jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh. Itulah habitus kedua. Jika mereka memperoleh penghasilan rutin (katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, maka mereka telah membiasakan diri untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika penghasilan mereka meningkat menjadi Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak merasa perlu untuk mengubah pola konsumsi mereka. Dalam hal ini yang meningkat secara langsung adalah jumlah tabungan untuk investasi, karena biaya konsumsi relatif tetap.
Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana untuk tabungan dan investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi rutin setiap bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk konsumsi dan kalau akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan diinvestasikan. Dengan kata lain, mereka terbiasa untuk mencurahkan cukup banyak waktu untuk memikirkan soal kemana dan bagaimana uang mereka ditabung dan diinvestasikan agar berkembang lebih maksimal. Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk memikirkan cara-cara menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja berlama-lama di pusat-pusat pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin produktif, tumbuh dan berkembang, sehingga mereka menjadi mapan secara keuangan.
Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti Mochtar Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen Siregar, saya merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas telah terpatri menjadi bagian dari tarikan nafas orang-orang tersebut. Tentu saja masih banyak lagi habitus orang-orang yang mapan secara finansial itu. Namun tiga yang telah dipaparkan di atas adalah habitus yang paling umum.
Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang lebih suka menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri untuk berbelanja lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan barang-barang konsumsi (gonta-ganti mobil baru tiap 1-2 tahun sekali, mengenakan pakaian-pakaian bermerek yang dibeli secara kredit, makan minum di tempat-tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah menjadi orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya, hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari tenggelam di ufuk barat.
Kalau tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!
Manusia membangun habitus secara perlahan.
Dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya.
~ Pandir Karya
”Apakah habitus orang kaya yang paling umum?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Mereka super pelit,” kata Iin.
”Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong,” jawab Toni.
”Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat,” kata Herlina.
”Tidak suka berhutang,” ujar Didi.
”Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya,” jelas Diah.
”Mereka suka memamerkan kekayaannya,” kata Rudy.
”Cenderung serakah dan asosial,” gagas Yuyun.
”Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal,” ujar Lilik.
”Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya,” papar Dewi.
”Suka bangun siang dan tidur dini hari,” kata Indra.
***
”Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan, atau penampilan diri, yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat… bersifat spontan, tidak disadari pelakunya apakah itu terpuji atau tercela, seperti orang tak sadar akan bau mulutnya. Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok sosial,” demikian antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember 2005).
Perhatikan bahwa habitus ”...telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging”, ”bersifat spontan”, ”tidak disadari pelakunya”, dan bisa menunjuk kepada ”kelompok sosial” tertentu. Nah, dengan pemahaman ini, mari kita coba pikirkan, apa sajakah habitus kelompok sosial ekonomi atas (baca: orang-orang kaya dan super kaya) yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, bersifat spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat reflek)?
Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku orang-orang kaya di Amerika dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai perilaku sejumlah kawan yang kaya di Indonesia , sekurang-kurangnya bisa disebutkan beberapa habitus yang saling kait mengait satu sama lain sebegai berikut.
Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting, mereka menikmati hidup dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang sebenarnya. Artinya, secara keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak oleh mata lingkungannya. Mereka lebih kaya dari apa yang mungkin dipikirkan orang lain di sekitar mereka (tetangganya). Bila mereka sesungguhnya mampu membeli rumah seharga Rp 10 miliar, maka mereka senang memilih rumah seharga Rp 1 miliar. Jika mereka mampu membeli mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang memilih mobil seharga Rp 600 juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu membeli barang-barang yang dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan mewah macam Sogo Departemen Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di pusat belanja grosir seperti di ITC Mangga Dua.
Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih lebih dari Rp 20 miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah mengatakan kepada saja bahwa, ”Saya menganut pandangan bahwa apa pun yang kita gunakan dan nampak oleh orang lain seharusnya tidak lebih dari sepertiga kekuatan kita yang sesungguhnya. Dan kalau saya bisa menggunakan sepertigapuluh atau bahkan sepertigaratus dari kemampuan finansial saya untuk hidup nyaman, itu sudah cukup. Saya tidak suka dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya lebih suka dikenal sebagai orang yang berkarya”. Pernyataan ini dengan tegas menunjukkan bahwa ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya.
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya, maka mereka—orang-orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya konsumsi mereka jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh. Itulah habitus kedua. Jika mereka memperoleh penghasilan rutin (katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, maka mereka telah membiasakan diri untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika penghasilan mereka meningkat menjadi Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak merasa perlu untuk mengubah pola konsumsi mereka. Dalam hal ini yang meningkat secara langsung adalah jumlah tabungan untuk investasi, karena biaya konsumsi relatif tetap.
Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana untuk tabungan dan investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi rutin setiap bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk konsumsi dan kalau akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan diinvestasikan. Dengan kata lain, mereka terbiasa untuk mencurahkan cukup banyak waktu untuk memikirkan soal kemana dan bagaimana uang mereka ditabung dan diinvestasikan agar berkembang lebih maksimal. Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk memikirkan cara-cara menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja berlama-lama di pusat-pusat pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin produktif, tumbuh dan berkembang, sehingga mereka menjadi mapan secara keuangan.
Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti Mochtar Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen Siregar, saya merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas telah terpatri menjadi bagian dari tarikan nafas orang-orang tersebut. Tentu saja masih banyak lagi habitus orang-orang yang mapan secara finansial itu. Namun tiga yang telah dipaparkan di atas adalah habitus yang paling umum.
Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang lebih suka menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri untuk berbelanja lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan barang-barang konsumsi (gonta-ganti mobil baru tiap 1-2 tahun sekali, mengenakan pakaian-pakaian bermerek yang dibeli secara kredit, makan minum di tempat-tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah menjadi orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya, hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari tenggelam di ufuk barat.
Kalau tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!
Subscribe to:
Posts (Atom)