13 Juni 1961, Ketua Komite Sentral Partai Komunis China Mao Zedong di Balai Qinzheng, Zhongnanhai, Beijing, bertemu dengan Presiden Soekarno yang datang berkunjung ke China.
KANTOR PENERANGAN DEWAN NEGARA REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK
Bandar Udara Guangzhou, pertengahan Februari 1980. Subuh. Sepi.
Cuaca dingin masih menggigit. Sekelompok tentara China yang mengenakan jaket biru gelap berbaris seolah tidak merasa terpaan angin dingin. Di depan ruang tunggu VIP bandara, mereka berhenti. Dua orang, satu berkulit sawo matang dan satu lagi berkulit agak putih, dikawal masuk ke dalam sebuah mobil. Tanpa banyak cakap, pintu mobil langsung ditutup. Mobil melesat mendekati pesawat Trident.
Pesawat itu baru, berkapasitas 150 penumpang. Namun, saat itu pesawat hanya berisi dua orang tadi dengan empat orang China. Terbang cepat-cepat menuju ibu kota Beijing.
”Pokoknya, persislah seperti film-film James Bond,” ujar Suripto, mantan Sekretaris Jenderal Pertanian, salah satu dari dua orang Indonesia itu.
Sore itu, di sebuah kafe di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta pertengahan Maret, Suripto dan Joshua Halim seolah memutar kembali film yang mereka ”bintangi” 20 tahun lalu, ketika mereka berusaha merentas kembali hubungan dua negara yang sempat terputus.
Suripto dan Joshua ketika itu menjadi pegiat di Lembaga Studi Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Mereka pun pergi ke China. Tak banyak orang yang mengetahui kepergian mereka, kecuali beberapa pejabat tinggi di Jakarta. Maklum, ketika itu kekhawatiran masuknya paham komunis dari China masih kental.
Suripto dan Joshua pertama- tama menjalin hubungan dengan perwakilan kantor berita China, Xinhua, di Hongkong. Xinhua tidak sekadar kantor berita China. tetapi juga merupakan perwakilan Pemerintah China di Hongkong. Melalui mereka, Suripto dan Joshua mengutarakan niatnya bertemu dengan pejabat-pejabat China untuk merintis kembali hubungan kedua negara yang sempat harmonis dengan poros Jakarta-Peking.
Gayung bersambut. Xinhua setuju dan memberikan jalan ke Beijing. Di Beijing, Suripto dan Joshua harus berhadapan dengan berbagai kelompok dan pertanyaan. Rasa curiga masih berada di benak pejabat-pejabat China itu. Pejabat China yang berhasil ditemui antara lain Han Nianglong, Wakil Menteri Luar Negeri China; Shen Ping, Direktur Departemen Urusan Asia Kementerian Luar Negeri China juga merupakan mantan Duta Besar China di Inggris dan Italia; serta Wang Bingnan, Presiden Lembaga Persahabatan Rakyat Tiongkok dengan Luar Negeri. Lembaga pimpinan Bingnan ini strategis karena bertugas menjalin hubungan dengan negara-negara yang tidak atau belum memiliki hubungan diplomatik dengan China.
”Ketika itu, Deng Xiaoping baru saja meluncurkan empat modernisasi, yaitu bidang pendidikan, militer, pertanian, dan ekonomi,” kata Suripto.
Dia berkeyakinan bulat, empat modernisasi itu akan berhasil dan China akan jadi besar serta jauh lebih hebat dari citra negara miskin banyak penduduk pada era 1980-an. ”Masak kita mengisolasi 1 miliar penduduk, itu tidak mungkin. China juga sudah menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, pasti suatu saat kita memerlukan dukungan China, entah dalam hal apa,” ujarnya.
Joshua yang sangat fasih berbahasa Mandarin menambahkan, mereka lebih banyak mendengar dibandingkan dengan berbicara. Kedua orang itu pun memberikan prasyarat bagi China jika memang hendak membuka kembali hubungan dengan Indonesia. Syarat itu, antara lain, China harus menghentikan propaganda mendukung PKI dan menjelek-jelekkan Indonesia dalam siaran Radio Peking. China pun sepakat untuk menghapuskan utang Indonesia sebesar 1 miliar dollar AS yang ketika itu digunakan untuk membeli senjata dari China.
”Kami akan sampaikan hal ini kepada menteri luar negeri di Jakarta. Beri waktu tiga bulan, kami akan melaporkan kemajuannya,” janji Suripto dan Joshua.
Sepulang dari Beijing, mereka melaporkan perjalanan mereka kepada Menlu dan Wanhankamnas. Tetap, misi itu belum diketahui oleh orang banyak. Tidak sampai tiga bulan, perwakilan China di PBB bertanya kepada perwakilan Indonesia di PBB mengenai kedatangan kedua orang tersebut serta tindak lanjut pembicaraan mereka di Beijing.
Keruan saja pertanyaan tersebut membuat kaget pejabat lain yang tidak mengerti asal muasal misi kecil itu. Jakarta geger. Rupanya kedua orang itu membuat marah beberapa pejabat. Pejabat yang tidak suka langkah tersebut menyebut Suripto dan Joshua sebagai antek-antek Peking.
”Saya sudah bersiap-siap membawa pakaian kalau-kalau langsung ditahan,” ujar Joshua. Ternyata kedua orang itu tidak jadi dijebloskan ke dalam bui.
Perjalanan di Hongkong, Guangzhou, dan Beijing itu merupakan titik awal dari normalisasi hubungan diplomatik China-Indonesia, yang baru benar-benar terwujud 10 tahun kemudian.
”Maklumlah, pada saat itu masih banyak ketakutan pengaruh komunis masuk ke Indonesia sehingga realisasi normalisasi hubungan tersebut masih terkatung-katung sekian lama,” kata Suripto.
Jalan lain ditempuh melalui hubungan dagang. Joshua membuat kajian-kajian mengenai pembentukan Komite China Kadin Indonesia pada tahun 1985. Sejak saat itu, perlahan hubungan ditingkatkan hingga normalisasi dilakukan pada tahun 1990.
Cuaca dingin masih menggigit. Sekelompok tentara China yang mengenakan jaket biru gelap berbaris seolah tidak merasa terpaan angin dingin. Di depan ruang tunggu VIP bandara, mereka berhenti. Dua orang, satu berkulit sawo matang dan satu lagi berkulit agak putih, dikawal masuk ke dalam sebuah mobil. Tanpa banyak cakap, pintu mobil langsung ditutup. Mobil melesat mendekati pesawat Trident.
Pesawat itu baru, berkapasitas 150 penumpang. Namun, saat itu pesawat hanya berisi dua orang tadi dengan empat orang China. Terbang cepat-cepat menuju ibu kota Beijing.
”Pokoknya, persislah seperti film-film James Bond,” ujar Suripto, mantan Sekretaris Jenderal Pertanian, salah satu dari dua orang Indonesia itu.
Sore itu, di sebuah kafe di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta pertengahan Maret, Suripto dan Joshua Halim seolah memutar kembali film yang mereka ”bintangi” 20 tahun lalu, ketika mereka berusaha merentas kembali hubungan dua negara yang sempat terputus.
Suripto dan Joshua ketika itu menjadi pegiat di Lembaga Studi Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Mereka pun pergi ke China. Tak banyak orang yang mengetahui kepergian mereka, kecuali beberapa pejabat tinggi di Jakarta. Maklum, ketika itu kekhawatiran masuknya paham komunis dari China masih kental.
Suripto dan Joshua pertama- tama menjalin hubungan dengan perwakilan kantor berita China, Xinhua, di Hongkong. Xinhua tidak sekadar kantor berita China. tetapi juga merupakan perwakilan Pemerintah China di Hongkong. Melalui mereka, Suripto dan Joshua mengutarakan niatnya bertemu dengan pejabat-pejabat China untuk merintis kembali hubungan kedua negara yang sempat harmonis dengan poros Jakarta-Peking.
Gayung bersambut. Xinhua setuju dan memberikan jalan ke Beijing. Di Beijing, Suripto dan Joshua harus berhadapan dengan berbagai kelompok dan pertanyaan. Rasa curiga masih berada di benak pejabat-pejabat China itu. Pejabat China yang berhasil ditemui antara lain Han Nianglong, Wakil Menteri Luar Negeri China; Shen Ping, Direktur Departemen Urusan Asia Kementerian Luar Negeri China juga merupakan mantan Duta Besar China di Inggris dan Italia; serta Wang Bingnan, Presiden Lembaga Persahabatan Rakyat Tiongkok dengan Luar Negeri. Lembaga pimpinan Bingnan ini strategis karena bertugas menjalin hubungan dengan negara-negara yang tidak atau belum memiliki hubungan diplomatik dengan China.
”Ketika itu, Deng Xiaoping baru saja meluncurkan empat modernisasi, yaitu bidang pendidikan, militer, pertanian, dan ekonomi,” kata Suripto.
Dia berkeyakinan bulat, empat modernisasi itu akan berhasil dan China akan jadi besar serta jauh lebih hebat dari citra negara miskin banyak penduduk pada era 1980-an. ”Masak kita mengisolasi 1 miliar penduduk, itu tidak mungkin. China juga sudah menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, pasti suatu saat kita memerlukan dukungan China, entah dalam hal apa,” ujarnya.
Joshua yang sangat fasih berbahasa Mandarin menambahkan, mereka lebih banyak mendengar dibandingkan dengan berbicara. Kedua orang itu pun memberikan prasyarat bagi China jika memang hendak membuka kembali hubungan dengan Indonesia. Syarat itu, antara lain, China harus menghentikan propaganda mendukung PKI dan menjelek-jelekkan Indonesia dalam siaran Radio Peking. China pun sepakat untuk menghapuskan utang Indonesia sebesar 1 miliar dollar AS yang ketika itu digunakan untuk membeli senjata dari China.
”Kami akan sampaikan hal ini kepada menteri luar negeri di Jakarta. Beri waktu tiga bulan, kami akan melaporkan kemajuannya,” janji Suripto dan Joshua.
Sepulang dari Beijing, mereka melaporkan perjalanan mereka kepada Menlu dan Wanhankamnas. Tetap, misi itu belum diketahui oleh orang banyak. Tidak sampai tiga bulan, perwakilan China di PBB bertanya kepada perwakilan Indonesia di PBB mengenai kedatangan kedua orang tersebut serta tindak lanjut pembicaraan mereka di Beijing.
Keruan saja pertanyaan tersebut membuat kaget pejabat lain yang tidak mengerti asal muasal misi kecil itu. Jakarta geger. Rupanya kedua orang itu membuat marah beberapa pejabat. Pejabat yang tidak suka langkah tersebut menyebut Suripto dan Joshua sebagai antek-antek Peking.
”Saya sudah bersiap-siap membawa pakaian kalau-kalau langsung ditahan,” ujar Joshua. Ternyata kedua orang itu tidak jadi dijebloskan ke dalam bui.
Perjalanan di Hongkong, Guangzhou, dan Beijing itu merupakan titik awal dari normalisasi hubungan diplomatik China-Indonesia, yang baru benar-benar terwujud 10 tahun kemudian.
”Maklumlah, pada saat itu masih banyak ketakutan pengaruh komunis masuk ke Indonesia sehingga realisasi normalisasi hubungan tersebut masih terkatung-katung sekian lama,” kata Suripto.
Jalan lain ditempuh melalui hubungan dagang. Joshua membuat kajian-kajian mengenai pembentukan Komite China Kadin Indonesia pada tahun 1985. Sejak saat itu, perlahan hubungan ditingkatkan hingga normalisasi dilakukan pada tahun 1990.