Mereka yang Tersingkir
Pembangunan selalu membawa korban. Tidak hanya orang kecil dan miskin, bahkan orang yang berpendidikan cukup dan memiliki pekerjaan baik. China telah bertumbuh pesat. Seperti juga di tempat lain, pertumbuhan tersebut tidaklah merata. Pantai timur China telah meninggalkan kawasan baratnya. Pembangunan zona ekonomi, pendirian pabrik penggerak roda perekonomian, semua terkonsentrasi di timur.
Bagaikan semut yang menghampiri gula, jutaan pekerja migran dari barat berbondong-bondong hendak mencicipi buah kepesatan ekonomi di timur. Mereka memang merupakan agen perubahan. Jutaan yuan, mata uang China, telah dikirimkan ke keluarga mereka di desa, yang membuat kemakmuran keluarga meningkat.
Pembangunan pesat China bukan tanpa persoalan. Salah satunya adalah persoalan kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh sistem hukou. Sistem ini merupakan catatan mengenai keluarga ada anggotanya di sebuah kawasan, termasuk catatan tentang nama anggota keluarga, tempat tanggal lahir, nama orangtua, dan nama pasangan jika sudah menikah.
Sistem pencatatan keluarga sudah ada di China pada masa Dinasti Xia (2100-1600 SM). Pada masa Dinasti Han dibuatlah sistem hukou sebagai basis pengenaan pajak keluarga. Pada tahun 1958, Pemerintah China mulai menggunakan sistem pendataan keluarga ini sebagai upaya untuk mengontrol perpindahan penduduk dari desa ke kota. Ada dua kategori penduduk menurut sistem modern, yaitu orang desa dan orang kota. Jika seorang pekerja pindah dari desanya ke perkotaan, untuk mencari pekerjaan di luar bidang pertanian, dia harus melampirkan surat-surat dari penguasa setempat.
Dampak sistem hukou terhadap para pekerja migran sebenarnya sudah mulai terasa pada tahun 1980-an ketika banyak orang harus keluar dari perusahaan milik negara dan koperasi. Sejak tahun 1980-an, diperkirakan ada 200 juta penduduk China yang tinggal dan bekerja di luar daerah tempat hukou-nya didaftarkan. Akibatnya, mereka tetap tidak dapat mengakses berbagai pelayanan dari pemerintah di tempatnya yang baru.
”Sebenarnya saya enggan sekali membicarakan soal kebijakan pemerintah yang satu ini. Ini sungguh diskriminatif,” ujar Kevin, penduduk Beijing yang berasal dari Provinsi Zhejiang dan tidak memiliki hukou Beijing.
Dengan tidak memiliki hukou Beijing, akses Kevin terhadap perumahan murah bersubsidi pemerintah tertutup sudah. Sementara warga Beijing yang kehidupannya relatif sudah lebih baik dibandingkan dengan pendatang justru mendapatkan keistimewaan itu.
”Selain itu, diskriminasi ini juga terjadi pada saat memasuki perguruan tinggi. Berdasarkan jumlah penduduknya, Beijing mendapatkan kuota besar untuk masuk ke universitas besar seperti Universitas Peking atau Tsinghua. Sedangkan pemuda dari provinsi lain mendapatkan kuota yang lebih sedikit,” ujarnya dengan nada kesal.
Kevin yang bekerja di sebuah perusahaan swasta berhasil mendapatkan pekerjaan baik, tetapi rasa iri terhadap warga Beijing tetap ada di hatinya.
Kevin tidak sendiri. ”Saya lebih dari 10 tahun tinggal di Beijing, tetapi tetap tak memiliki hukou Beijing,” ujar seorang nona yang hanya memberikan nama marganya, Wang, yang berasal dari sebuah kota kecil di Provinsi Fujian.
130 juta anak
Jutaan petani yang harus pindah ke kota besar dan bekerja di pabrik menerima diskriminasi dalam hal ekonomi dan politik. Mereka juga menjadi sasaran kenaikan tingkat kejahatan. Karena sistem ini pula, anak-anak para petani yang pindah ke kota ini tidak diperbolehkan bersekolah di kota dan mereka tetap harus bersekolah di desa mereka bersama kakek atau pamannya. Diperkirakan ada 130 juta anak sekolah di desa tanpa didampingi orangtua yang bekerja di kota.
Akibatnya jelas, jurang antara pendatang dan warga asli semakin besar. Pemerintah China sungguh khawatir keadaan ini akan membuat kesenjangan sosial antara orang desa dan orang kota semakin lebar.
Salah satu cara mendapatkan hukou Beijing atau kota besar lain seperti Shanghai adalah dengan menikah dengan warga setempat atau memiliki keahlian khusus sehingga pemerintah kota memandang perlu memberikan hukou Beijing atau kota besar lainnya kepada warga dari provinsi lain.
”Akhirnya saya mendapatkan hukou Beijing setelah saya pulang dari pendidikan S-3 saya di Inggris,” kata seorang ibu bermarga Ling. Ling mendapatkan gelar PhD bidang lingkungan dari salah satu universitas ternama di Inggris. Dia berasal dari Provinsi Zhejiang.
Pada Kongres Tahunan Partai Komunis awal Maret lalu, pembahasan soal hukou sudah menjadi agenda. Namun, tampaknya belum ada pemecahan bagaimana sebaiknya hal ini diselesaikan. China akan mereformasi sistem registrasi itu dan mengendurkan hambatan-hambatan bagi pemegang hukou di kota kecil dan menengah.
”Kami akan tetap menjaga laju urbanisasi dengan karakteristik China dan membuat interaksi positif antarkaum urban serta membangun pedesaan,” demikian laporan pada Kongres Rakyat Nasional Ke-11, awal Maret 2010.
Pekerja migran masih menantikan perkembangan janji reformasi ini. (joe)
Bagaikan semut yang menghampiri gula, jutaan pekerja migran dari barat berbondong-bondong hendak mencicipi buah kepesatan ekonomi di timur. Mereka memang merupakan agen perubahan. Jutaan yuan, mata uang China, telah dikirimkan ke keluarga mereka di desa, yang membuat kemakmuran keluarga meningkat.
Pembangunan pesat China bukan tanpa persoalan. Salah satunya adalah persoalan kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh sistem hukou. Sistem ini merupakan catatan mengenai keluarga ada anggotanya di sebuah kawasan, termasuk catatan tentang nama anggota keluarga, tempat tanggal lahir, nama orangtua, dan nama pasangan jika sudah menikah.
Sistem pencatatan keluarga sudah ada di China pada masa Dinasti Xia (2100-1600 SM). Pada masa Dinasti Han dibuatlah sistem hukou sebagai basis pengenaan pajak keluarga. Pada tahun 1958, Pemerintah China mulai menggunakan sistem pendataan keluarga ini sebagai upaya untuk mengontrol perpindahan penduduk dari desa ke kota. Ada dua kategori penduduk menurut sistem modern, yaitu orang desa dan orang kota. Jika seorang pekerja pindah dari desanya ke perkotaan, untuk mencari pekerjaan di luar bidang pertanian, dia harus melampirkan surat-surat dari penguasa setempat.
Dampak sistem hukou terhadap para pekerja migran sebenarnya sudah mulai terasa pada tahun 1980-an ketika banyak orang harus keluar dari perusahaan milik negara dan koperasi. Sejak tahun 1980-an, diperkirakan ada 200 juta penduduk China yang tinggal dan bekerja di luar daerah tempat hukou-nya didaftarkan. Akibatnya, mereka tetap tidak dapat mengakses berbagai pelayanan dari pemerintah di tempatnya yang baru.
”Sebenarnya saya enggan sekali membicarakan soal kebijakan pemerintah yang satu ini. Ini sungguh diskriminatif,” ujar Kevin, penduduk Beijing yang berasal dari Provinsi Zhejiang dan tidak memiliki hukou Beijing.
Dengan tidak memiliki hukou Beijing, akses Kevin terhadap perumahan murah bersubsidi pemerintah tertutup sudah. Sementara warga Beijing yang kehidupannya relatif sudah lebih baik dibandingkan dengan pendatang justru mendapatkan keistimewaan itu.
”Selain itu, diskriminasi ini juga terjadi pada saat memasuki perguruan tinggi. Berdasarkan jumlah penduduknya, Beijing mendapatkan kuota besar untuk masuk ke universitas besar seperti Universitas Peking atau Tsinghua. Sedangkan pemuda dari provinsi lain mendapatkan kuota yang lebih sedikit,” ujarnya dengan nada kesal.
Kevin yang bekerja di sebuah perusahaan swasta berhasil mendapatkan pekerjaan baik, tetapi rasa iri terhadap warga Beijing tetap ada di hatinya.
Kevin tidak sendiri. ”Saya lebih dari 10 tahun tinggal di Beijing, tetapi tetap tak memiliki hukou Beijing,” ujar seorang nona yang hanya memberikan nama marganya, Wang, yang berasal dari sebuah kota kecil di Provinsi Fujian.
130 juta anak
Jutaan petani yang harus pindah ke kota besar dan bekerja di pabrik menerima diskriminasi dalam hal ekonomi dan politik. Mereka juga menjadi sasaran kenaikan tingkat kejahatan. Karena sistem ini pula, anak-anak para petani yang pindah ke kota ini tidak diperbolehkan bersekolah di kota dan mereka tetap harus bersekolah di desa mereka bersama kakek atau pamannya. Diperkirakan ada 130 juta anak sekolah di desa tanpa didampingi orangtua yang bekerja di kota.
Akibatnya jelas, jurang antara pendatang dan warga asli semakin besar. Pemerintah China sungguh khawatir keadaan ini akan membuat kesenjangan sosial antara orang desa dan orang kota semakin lebar.
Salah satu cara mendapatkan hukou Beijing atau kota besar lain seperti Shanghai adalah dengan menikah dengan warga setempat atau memiliki keahlian khusus sehingga pemerintah kota memandang perlu memberikan hukou Beijing atau kota besar lainnya kepada warga dari provinsi lain.
”Akhirnya saya mendapatkan hukou Beijing setelah saya pulang dari pendidikan S-3 saya di Inggris,” kata seorang ibu bermarga Ling. Ling mendapatkan gelar PhD bidang lingkungan dari salah satu universitas ternama di Inggris. Dia berasal dari Provinsi Zhejiang.
Pada Kongres Tahunan Partai Komunis awal Maret lalu, pembahasan soal hukou sudah menjadi agenda. Namun, tampaknya belum ada pemecahan bagaimana sebaiknya hal ini diselesaikan. China akan mereformasi sistem registrasi itu dan mengendurkan hambatan-hambatan bagi pemegang hukou di kota kecil dan menengah.
”Kami akan tetap menjaga laju urbanisasi dengan karakteristik China dan membuat interaksi positif antarkaum urban serta membangun pedesaan,” demikian laporan pada Kongres Rakyat Nasional Ke-11, awal Maret 2010.
Pekerja migran masih menantikan perkembangan janji reformasi ini. (joe)
No comments:
Post a Comment