Masuknya China dan Indonesia dalam G-20 menunjukkan bahwa kedua negara semakin diperhitungkan dalam peta percaturan internasional. Kekuatan ekonomi dunia pun beralih ke Asia Timur. Inilah ”Abad Asia”.
Semua itu membuka peluang bagi kedua negara untuk meningkatkan perannya dalam mengambil bagian dari perubahan dan rekonstruksi serta pemulihan kembali perekonomian global. Soalnya, China dan Indonesia, plus India di Asia yang tercatat di antara sedikit negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif secara signifikan tatkala perekonomian negara-negara lain terpuruk dua tahun silam dihantam krisis finansial yang membawa sial.
Tepat tanggal 13 April 2010, hubungan diplomatik Indonesia dan China genap berusia 60 tahun. Banyak kalangan di China dan di Indonesia yang sangat mengharapkan momentum ini juga digunakan sebaik-baiknya bagi kedua bangsa untuk semakin mempererat hubungannya, lalu bersama-sama mengambil peran dalam memimpin proses tercapainya komunitas Asia yang kian harmonis dan makmur. China dan Indonesia mesti ”terbang bersama” menuju puncak-puncak pencapaian prestasi.
China dan Indonesia mesti memiliki agenda bilateral dan regional yang dibicarakan terlebih dahulu, disusun strateginya, dijadikan komitmen bersama, baru kemudian dibawa ke forum G-20 untuk diperjuangkan. Dengan demikian, keberadaan kedua negara di forum G-20 benar-benar dapat bermanfaat sebesar-besarnya, bukan hanya untuk kepentingan kedua negara, tetapi juga kepentingan ASEAN, Asia, dan global.
Melihat perkembangan terakhir, di mana Jepang mengajukan proposal integrasi ekonomi Asia Timur, Australia yang mengajukan proposal pembentukan Komunitas Asia Pasifik, hendaknya para pemimpin fokus dulu memantapkan sinergi ASEAN+3 dalam segala hal baru melangkah ke tahap selanjutnya.
Untuk memainkan peran dari semua inisiatif itu, kedua negara, Indonesia dan China, mesti terlebih dahulu meningkatkan hubungan kerja sama bilateralnya di segala bidang. Tanpa peningkatan hubungan, menyelaraskan kepentingan bersama, yang terjadi bisa justru sebaliknya, yakni munculnya ketegangan di antara keduanya. Apalagi dalam era perlombaan menguasai sumber daya yang semakin langka untuk menopang bertumbuhan ekonomi, hal itu bukan mustahil terjadi di antara kedua negara.
Dalam konteks itu, China yang memiliki semuanya, kapital, teknologi, sumber daya, dan pasar, harus memberi dukungan kepada Indonesia sebagai mitra strategis untuk berkembang. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki sumber daya alam harus memanfaatkan China sebagai pasar potensial. Kemitraan yang komprehensif, saling menguntungkan, dan tidak ada yang mendominasi merupakan dasar untuk membangun hubungan itu menjadi lebih erat.
Jalinan kerja sama itu bukan berhenti pada level atas, pembicaraan kosong pemimpin, tetapi harus diderivasikan sampai pada level yang lebih mengakar ke jantung bangsa, seperti kerja sama antarpengusaha dan organisasinya, lembaga pendidikan dan kebudayaan, ataupun komunitas terkecil, yakni ”people to people”. Tujuannya, memberikan peluang dan menjembatani keinginan kuat kedua bangsa untuk berinteraksi lebih intensif sehingga mereka mampu menciptakan peluang untuk bersinergi yang kemudian mendorong peningkatan kesejahteraan.
Patutlah kiranya China belajar dari sejarah kelam hubungan Indonesia-Jepang. Tatkala mulai melakukan ekspansi ekonomi ke negara-negara lain, Jepang terkesan bersikap seolah tak peduli apa yang terjadi di negara tersebut. Pada tahun 1974, misalnya, ekspansi Jepang di Indonesia mencapai pertumbuhan luar biasa setelah Jakarta membuka pintu dan mengundang investasi asing. Namun, mengalirkan modal saja tidak cukup. Transfer teknologi dan pengetahuan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga dibutuhkan di negara tujuan investasi.
Ketika timbul sikap anti-asing di Jakarta dan Indonesia secara umum, Jepang yang agresif kena getahnya. Sikap anti-Jepang muncul dan memicu kerusuhan sosial.
Tragedi 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan Malari adalah lembaran hitam dalam hubungan RI-Jepang. Ekspansi ekonomi Jepang yang luar biasa di Indonesia saat itu diasosiasikan kembali dengan penjajahan Jepang terhadap RI, tetapi dalam bentuk lain, yaitu penjajahan ekonomi.
”Jangan sampai itu terulang. Itu yang mesti kita hindari dalam hubungan Indonesia-China dengan mengupayakan kerja sama dan saling pengertian pada semua level,” ujar Jusuf Wanandi dari CSIS.
Catatan sejarah itu sepatutnya dijadikan pelajaran berharga bagi China, yang tengah melakukan ekspansi besar-besaran perekonomiannya, termasuk ke Indonesia. Semakin berkembangnya perekonomian China, teknologi dan kapasitas sumber daya manusianya, termasuk ekspansinya di Indonesia, tidak mustahil menjadi benih ketegangan pemicu isu nasionalisme. Masuknya barang-barang China yang berharga murah bisa menimbulkan sentimen negatif di kalangan pelaku usaha Indonesia sebagai dampak kalah bersaing produk-produk mereka dengan barang-barang China.
Serbuan produk-produk China berharga murah tersebut berpotensi mematikan industri kecil dan menengah yang produknya tidak mampu bersaing. Proses industrialisasi di Indonesia pun berpotensi mati suri. Kalangan usahawan yang semula berniat mengembangkan industri manufaktur berpotensi memilih menjadi pedagang barang-barang China ketimbang mengembangkan industri manufaktur untuk memproduksi barang-barang substitusi produk China.
Sebelum Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) berlaku saja, produsen Indonesia sudah banyak yang berteriak. Apalagi setelah FTA berlaku yang ditandai dengan penurunan tarif secara bertahap berdasarkan jenis komoditas sesuai perjanjian, sehingga memungkinkan produk China semakin kompetitif, bahkan jauh lebih murah tak tertandingi produk Indonesia.
Situasi dan kondisi yang demikian tidak mustahil dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang melihat dominasi produk China. Potensi itu bukan hanya datang dari kalangan produsen Indonesia, tetapi juga oleh mereka yang tidak senang melihat hubungan Indonesia China kian mesra. Masalahnya, jika kedua bangsa semakin merekatkan hubungan dan kerja samanya, apalagi jika Indonesia menjadi lokomotif ASEAN bergandengan China, tentu akan menjadi kekuatan dahsyat kelak.
China itu mesti pandai memilih dan memilah persoalan, memahami sejarah dan kultur, serta dinamika yang berkembang di Indonesia. Bagaimanapun kedua negara dan perekonomian ini saling membutuhkan dan melengkapi dalam membangun integrasi ekonomi di kawasan dan global.
Indonesia dan China merupakan negara berkembang yang sangat penting di Asia. ”Kami berbagi manfaat dalam mengembangkan hubungan bilateral perdagangan dan ekonomi. Mari kita bekerja sama, meningkatkan hubungan Sino-Indonesia ke tingkat yang baru,” ajak Menteri Perdagangan China Chen Deming.
Semua itu membuka peluang bagi kedua negara untuk meningkatkan perannya dalam mengambil bagian dari perubahan dan rekonstruksi serta pemulihan kembali perekonomian global. Soalnya, China dan Indonesia, plus India di Asia yang tercatat di antara sedikit negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif secara signifikan tatkala perekonomian negara-negara lain terpuruk dua tahun silam dihantam krisis finansial yang membawa sial.
Tepat tanggal 13 April 2010, hubungan diplomatik Indonesia dan China genap berusia 60 tahun. Banyak kalangan di China dan di Indonesia yang sangat mengharapkan momentum ini juga digunakan sebaik-baiknya bagi kedua bangsa untuk semakin mempererat hubungannya, lalu bersama-sama mengambil peran dalam memimpin proses tercapainya komunitas Asia yang kian harmonis dan makmur. China dan Indonesia mesti ”terbang bersama” menuju puncak-puncak pencapaian prestasi.
China dan Indonesia mesti memiliki agenda bilateral dan regional yang dibicarakan terlebih dahulu, disusun strateginya, dijadikan komitmen bersama, baru kemudian dibawa ke forum G-20 untuk diperjuangkan. Dengan demikian, keberadaan kedua negara di forum G-20 benar-benar dapat bermanfaat sebesar-besarnya, bukan hanya untuk kepentingan kedua negara, tetapi juga kepentingan ASEAN, Asia, dan global.
Melihat perkembangan terakhir, di mana Jepang mengajukan proposal integrasi ekonomi Asia Timur, Australia yang mengajukan proposal pembentukan Komunitas Asia Pasifik, hendaknya para pemimpin fokus dulu memantapkan sinergi ASEAN+3 dalam segala hal baru melangkah ke tahap selanjutnya.
Untuk memainkan peran dari semua inisiatif itu, kedua negara, Indonesia dan China, mesti terlebih dahulu meningkatkan hubungan kerja sama bilateralnya di segala bidang. Tanpa peningkatan hubungan, menyelaraskan kepentingan bersama, yang terjadi bisa justru sebaliknya, yakni munculnya ketegangan di antara keduanya. Apalagi dalam era perlombaan menguasai sumber daya yang semakin langka untuk menopang bertumbuhan ekonomi, hal itu bukan mustahil terjadi di antara kedua negara.
Dalam konteks itu, China yang memiliki semuanya, kapital, teknologi, sumber daya, dan pasar, harus memberi dukungan kepada Indonesia sebagai mitra strategis untuk berkembang. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki sumber daya alam harus memanfaatkan China sebagai pasar potensial. Kemitraan yang komprehensif, saling menguntungkan, dan tidak ada yang mendominasi merupakan dasar untuk membangun hubungan itu menjadi lebih erat.
Jalinan kerja sama itu bukan berhenti pada level atas, pembicaraan kosong pemimpin, tetapi harus diderivasikan sampai pada level yang lebih mengakar ke jantung bangsa, seperti kerja sama antarpengusaha dan organisasinya, lembaga pendidikan dan kebudayaan, ataupun komunitas terkecil, yakni ”people to people”. Tujuannya, memberikan peluang dan menjembatani keinginan kuat kedua bangsa untuk berinteraksi lebih intensif sehingga mereka mampu menciptakan peluang untuk bersinergi yang kemudian mendorong peningkatan kesejahteraan.
Patutlah kiranya China belajar dari sejarah kelam hubungan Indonesia-Jepang. Tatkala mulai melakukan ekspansi ekonomi ke negara-negara lain, Jepang terkesan bersikap seolah tak peduli apa yang terjadi di negara tersebut. Pada tahun 1974, misalnya, ekspansi Jepang di Indonesia mencapai pertumbuhan luar biasa setelah Jakarta membuka pintu dan mengundang investasi asing. Namun, mengalirkan modal saja tidak cukup. Transfer teknologi dan pengetahuan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga dibutuhkan di negara tujuan investasi.
Ketika timbul sikap anti-asing di Jakarta dan Indonesia secara umum, Jepang yang agresif kena getahnya. Sikap anti-Jepang muncul dan memicu kerusuhan sosial.
Tragedi 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan Malari adalah lembaran hitam dalam hubungan RI-Jepang. Ekspansi ekonomi Jepang yang luar biasa di Indonesia saat itu diasosiasikan kembali dengan penjajahan Jepang terhadap RI, tetapi dalam bentuk lain, yaitu penjajahan ekonomi.
”Jangan sampai itu terulang. Itu yang mesti kita hindari dalam hubungan Indonesia-China dengan mengupayakan kerja sama dan saling pengertian pada semua level,” ujar Jusuf Wanandi dari CSIS.
Catatan sejarah itu sepatutnya dijadikan pelajaran berharga bagi China, yang tengah melakukan ekspansi besar-besaran perekonomiannya, termasuk ke Indonesia. Semakin berkembangnya perekonomian China, teknologi dan kapasitas sumber daya manusianya, termasuk ekspansinya di Indonesia, tidak mustahil menjadi benih ketegangan pemicu isu nasionalisme. Masuknya barang-barang China yang berharga murah bisa menimbulkan sentimen negatif di kalangan pelaku usaha Indonesia sebagai dampak kalah bersaing produk-produk mereka dengan barang-barang China.
Serbuan produk-produk China berharga murah tersebut berpotensi mematikan industri kecil dan menengah yang produknya tidak mampu bersaing. Proses industrialisasi di Indonesia pun berpotensi mati suri. Kalangan usahawan yang semula berniat mengembangkan industri manufaktur berpotensi memilih menjadi pedagang barang-barang China ketimbang mengembangkan industri manufaktur untuk memproduksi barang-barang substitusi produk China.
Sebelum Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) berlaku saja, produsen Indonesia sudah banyak yang berteriak. Apalagi setelah FTA berlaku yang ditandai dengan penurunan tarif secara bertahap berdasarkan jenis komoditas sesuai perjanjian, sehingga memungkinkan produk China semakin kompetitif, bahkan jauh lebih murah tak tertandingi produk Indonesia.
Situasi dan kondisi yang demikian tidak mustahil dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang melihat dominasi produk China. Potensi itu bukan hanya datang dari kalangan produsen Indonesia, tetapi juga oleh mereka yang tidak senang melihat hubungan Indonesia China kian mesra. Masalahnya, jika kedua bangsa semakin merekatkan hubungan dan kerja samanya, apalagi jika Indonesia menjadi lokomotif ASEAN bergandengan China, tentu akan menjadi kekuatan dahsyat kelak.
China itu mesti pandai memilih dan memilah persoalan, memahami sejarah dan kultur, serta dinamika yang berkembang di Indonesia. Bagaimanapun kedua negara dan perekonomian ini saling membutuhkan dan melengkapi dalam membangun integrasi ekonomi di kawasan dan global.
Indonesia dan China merupakan negara berkembang yang sangat penting di Asia. ”Kami berbagi manfaat dalam mengembangkan hubungan bilateral perdagangan dan ekonomi. Mari kita bekerja sama, meningkatkan hubungan Sino-Indonesia ke tingkat yang baru,” ajak Menteri Perdagangan China Chen Deming.
No comments:
Post a Comment