Pasang Surut dalam 60 Tahun
Hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China yang berusia 60 tahun pada 13 April 2010 tidak selalu berjalan mulus. Hubungan itu sempat membeku menyusul peristiwa yang dikenal luas dengan nama Gerakan 30 September 1965.
Anggapan bahwa RRC berada di belakang Gerakan 30 September 1965 itu membuat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto membekukan hubungan diplomatik kedua negara pada tanggal 30 Oktober 1967. Perdagangan langsung pun dihentikan.
Hubungan kedua negara bisa dikatakan terputus total. Padahal, sebelum Gerakan 30 September 1965, hubungan kedua negara sangat dekat. Perdana Menteri (PM) RRC Zhou Enlai hadir dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, 18-24 April 1955. Presiden Soekarno pun berkunjung ke RRC tanggal 30 September 1956.
Walaupun hubungan diplomatik dibekukan, Indonesia tetap menganut politik luar negeri satu China, yakni RRC. Sebagai negara yang menganut politik luar negeri yang bebas aktif dan nonblok, Indonesia tidak mengakui Taiwan yang menamakan diri Republic of China. Di mata Indonesia, Taiwan bagian dari RRC.
Dalam kaitan itu pulalah Indonesia tidak menentang masuknya RRC ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 Oktober 1971. Bahkan, RRC menjadi anggota PBB dalam sidang yang dipimpin Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Masuknya kelompok reformis di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping ke panggung kekuasaan tahun 1970-an, muncul suara-suara di Indonesia yang ingin hubungan diplomatik dengan RRC dicairkan. Menlu Adam Malik dan penggantinya, Mochtar Kusumaatmadja, termasuk di antaranya.
Kedua menlu itu menganggap pencairan kembali hubungan diplomatik dengan RRC penting bagi citra Indonesia sebagai salah satu negara pelopor berdirinya Gerakan Nonblok.
Oleh karena pemerintahan Orde Baru belum siap untuk mencairkan kembali hubungan diplomatiknya dengan RRC, dijajakilah untuk membuka kembali perdagangan langsung dengan RRC. Soalnya, perdagangan RI-RRC melalui negara ketiga hanya menguntungkan negara ketiga tersebut. Pemerintah RI pun menganggap hubungan dagang langsung dengan RRC itu tidak akan membahayakan dari segi ideologi karena aparat keamanan RI mampu mengatasinya.
Jalan ke arah pembukaan kembali perdagangan langsung RI-RRC itu diawali penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) tentang hubungan dagang langsung RI-RRC oleh Kadin Indonesia dan China Council for the Promotion of International Trade (CCPIT) di Hotel Shangri-La, Singapura, 5 Juli 1985. MOU itu ditandatangani Ketua Kadin Indonesia Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Ketua CCPIT Wang Yao Ting.
Dengan pembukaan kembali perdagangan langsung, hubungan kedua negara yang sudah 18 tahun membeku tidak serta-merta mencair. Bahkan, pada 23 April 1988, Mensesneg Moerdiono, selaku koordinator hubungan dagang langsung RI-RRC, mengatakan belum waktunya RI-RRC membuka kantor perwakilan dagang di kedua negara. Selain faktor ekonomi, pertimbangan itu juga didasari berbagai aspek, seperti politik luar negeri dan segi intelijen.
Berlangsung cepat
Perkembangan berlangsung sangat cepat. Karena RRC mengakomodasi hampir semua persyaratan yang diajukan Presiden Soeharto, ia menugaskan Mensesneg Moerdiono merintis perbaikan hubungan diplomatik dengan RRC. Tanggal 23 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Tokyo, Jepang, untuk menghadiri pemakaman Kaisar Hirohito, ia menerima dan mengadakan pembicaraan dengan Menlu China Qian Qichen yang juga berada di Tokyo.
Dalam pembicaraan selama 25 menit di suite room Hotel Imperial, tempat Presiden Soeharto menginap, Presiden Soeharto dan Menlu Qian Qichen memutuskan mengambil langkah-langkah lanjutan ke arah pencairan kembali hubungan diplomatik RI-RRC.
Dalam pembicaraan bersejarah itu disepakati bahwa Dasa Sila Bandung menjadi dasar pencairan hubungan diplomatik kedua negara. Moerdiono yang mendampingi Soeharto dalam pertemuan itu mengatakan lima prinsip lain yang disepakati.
Pertama, saling menghormati integritas masing-masing. Kedua, tidak saling melakukan agresi. Ketiga, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri. Keempat, persamaan derajat dan kemanfaatan bersama. Kelima, hidup berdampingan secara damai.
Pada tanggal 1-3 Juli 1990, Menlu Ali Alatas berkunjung ke Beijing untuk bertemu dengan Menlu Qian Qichen guna memformalkan kesepakatan yang telah dicapai tim teknis. Dalam kunjungan itu dibahas, antara lain, tentang kapan dan bagaimana hubungan diplomatik kedua negara akan dicairkan kembali.
Pada tanggal 8 Agustus 1990, MOU tentang Pencairan Kembali Hubungan Diplomatik antara RI dan RRC ditandatangani Ali Alatas dan Qian Qichen di Istana Negara, Jakarta, dengan disaksikan Presiden Soeharto dan PM RRC Li Peng.
”Tidak ada luka yang tak tersembuhkan,” kata Soeharto dalam jamuan makan malam di Istana Negara, 7 Agustus 1990, untuk menghormati PM Li Peng dan istrinya, Zhu Lin.
Dalam kaitan itulah kata-kata yang diucapkan Presiden Soekarno saat bersalaman dengan PM China Zhou Enlai saat berkunjung ke Beijing, 30 September-14 Oktober 1956, ”Saya berharap tidak ada lagi rasa permusuhan di antara kita. Kami kan tidak bisa memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan lebih dari 600 tahun lalu.”
Presiden Soekarno mengacu pada perbuatan Raja Singasari Kertanegara pada 1289. Saat itu, Kertanegara membuat cacat muka dua utusan China yang datang ke Singasari untuk menuntut pengakuan kedaulatan Kaisar Kubilai Khan.
Anggapan bahwa RRC berada di belakang Gerakan 30 September 1965 itu membuat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto membekukan hubungan diplomatik kedua negara pada tanggal 30 Oktober 1967. Perdagangan langsung pun dihentikan.
Hubungan kedua negara bisa dikatakan terputus total. Padahal, sebelum Gerakan 30 September 1965, hubungan kedua negara sangat dekat. Perdana Menteri (PM) RRC Zhou Enlai hadir dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, 18-24 April 1955. Presiden Soekarno pun berkunjung ke RRC tanggal 30 September 1956.
Walaupun hubungan diplomatik dibekukan, Indonesia tetap menganut politik luar negeri satu China, yakni RRC. Sebagai negara yang menganut politik luar negeri yang bebas aktif dan nonblok, Indonesia tidak mengakui Taiwan yang menamakan diri Republic of China. Di mata Indonesia, Taiwan bagian dari RRC.
Dalam kaitan itu pulalah Indonesia tidak menentang masuknya RRC ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 Oktober 1971. Bahkan, RRC menjadi anggota PBB dalam sidang yang dipimpin Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Masuknya kelompok reformis di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping ke panggung kekuasaan tahun 1970-an, muncul suara-suara di Indonesia yang ingin hubungan diplomatik dengan RRC dicairkan. Menlu Adam Malik dan penggantinya, Mochtar Kusumaatmadja, termasuk di antaranya.
Kedua menlu itu menganggap pencairan kembali hubungan diplomatik dengan RRC penting bagi citra Indonesia sebagai salah satu negara pelopor berdirinya Gerakan Nonblok.
Oleh karena pemerintahan Orde Baru belum siap untuk mencairkan kembali hubungan diplomatiknya dengan RRC, dijajakilah untuk membuka kembali perdagangan langsung dengan RRC. Soalnya, perdagangan RI-RRC melalui negara ketiga hanya menguntungkan negara ketiga tersebut. Pemerintah RI pun menganggap hubungan dagang langsung dengan RRC itu tidak akan membahayakan dari segi ideologi karena aparat keamanan RI mampu mengatasinya.
Jalan ke arah pembukaan kembali perdagangan langsung RI-RRC itu diawali penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) tentang hubungan dagang langsung RI-RRC oleh Kadin Indonesia dan China Council for the Promotion of International Trade (CCPIT) di Hotel Shangri-La, Singapura, 5 Juli 1985. MOU itu ditandatangani Ketua Kadin Indonesia Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Ketua CCPIT Wang Yao Ting.
Dengan pembukaan kembali perdagangan langsung, hubungan kedua negara yang sudah 18 tahun membeku tidak serta-merta mencair. Bahkan, pada 23 April 1988, Mensesneg Moerdiono, selaku koordinator hubungan dagang langsung RI-RRC, mengatakan belum waktunya RI-RRC membuka kantor perwakilan dagang di kedua negara. Selain faktor ekonomi, pertimbangan itu juga didasari berbagai aspek, seperti politik luar negeri dan segi intelijen.
Berlangsung cepat
Perkembangan berlangsung sangat cepat. Karena RRC mengakomodasi hampir semua persyaratan yang diajukan Presiden Soeharto, ia menugaskan Mensesneg Moerdiono merintis perbaikan hubungan diplomatik dengan RRC. Tanggal 23 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Tokyo, Jepang, untuk menghadiri pemakaman Kaisar Hirohito, ia menerima dan mengadakan pembicaraan dengan Menlu China Qian Qichen yang juga berada di Tokyo.
Dalam pembicaraan selama 25 menit di suite room Hotel Imperial, tempat Presiden Soeharto menginap, Presiden Soeharto dan Menlu Qian Qichen memutuskan mengambil langkah-langkah lanjutan ke arah pencairan kembali hubungan diplomatik RI-RRC.
Dalam pembicaraan bersejarah itu disepakati bahwa Dasa Sila Bandung menjadi dasar pencairan hubungan diplomatik kedua negara. Moerdiono yang mendampingi Soeharto dalam pertemuan itu mengatakan lima prinsip lain yang disepakati.
Pertama, saling menghormati integritas masing-masing. Kedua, tidak saling melakukan agresi. Ketiga, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri. Keempat, persamaan derajat dan kemanfaatan bersama. Kelima, hidup berdampingan secara damai.
Pada tanggal 1-3 Juli 1990, Menlu Ali Alatas berkunjung ke Beijing untuk bertemu dengan Menlu Qian Qichen guna memformalkan kesepakatan yang telah dicapai tim teknis. Dalam kunjungan itu dibahas, antara lain, tentang kapan dan bagaimana hubungan diplomatik kedua negara akan dicairkan kembali.
Pada tanggal 8 Agustus 1990, MOU tentang Pencairan Kembali Hubungan Diplomatik antara RI dan RRC ditandatangani Ali Alatas dan Qian Qichen di Istana Negara, Jakarta, dengan disaksikan Presiden Soeharto dan PM RRC Li Peng.
”Tidak ada luka yang tak tersembuhkan,” kata Soeharto dalam jamuan makan malam di Istana Negara, 7 Agustus 1990, untuk menghormati PM Li Peng dan istrinya, Zhu Lin.
Dalam kaitan itulah kata-kata yang diucapkan Presiden Soekarno saat bersalaman dengan PM China Zhou Enlai saat berkunjung ke Beijing, 30 September-14 Oktober 1956, ”Saya berharap tidak ada lagi rasa permusuhan di antara kita. Kami kan tidak bisa memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan lebih dari 600 tahun lalu.”
Presiden Soekarno mengacu pada perbuatan Raja Singasari Kertanegara pada 1289. Saat itu, Kertanegara membuat cacat muka dua utusan China yang datang ke Singasari untuk menuntut pengakuan kedaulatan Kaisar Kubilai Khan.
No comments:
Post a Comment