Benang Merah Itu Telah Terputus...
Ribuan TKI bermasalah di Malaysia mendatangi Gedung KBRI di Kuala Lumpur, awal November 2004. Ini sebagai buntut penertiban pekerja asal Indonesia di Malaysia.
Oleh Khairina
Terang Bulan terang di kali
Buaya timbul disangka mati
Jangan percaya mulut lelaki
Berani sumpah tapi takut mati...
Lagu Terang Bulan sempat sangat populer di Indonesia pada tahun 1937-1938, saat film berjudul Terang Boelan ”meledak”. Film yang ditangani Albert Balink dan wartawan Indonesia, Saroen, itu terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai Singapura dan Tanah Semenanjung.
Inilah film pertama yang ”suaranya” sempurna. Hingga beberapa puluh tahun kemudian, lagu fenomenal itu masih dinyanyikan di sekolah-sekolah. Lagu itu baru berhenti diputar pada tahun 1957 saat Malaysia mendengungkan lirik lagu Terang Bulan sebagai lagu kebangsaan mereka.
Begitu pun lagu klasik Melayu lain, macam Dondang Sayang, yang sangat akrab di telinga masyarakat Melayu di Nusantara dan di Tanah Semenanjung (baca: Malaysia). Atau lagu-lagu dan film yang mengetengahkan sosok P Ramlee sebagai seniman Melayu dari Pulau Pinang—baik sebagai penyanyi maupun aktor— yang hingga akhir 1960-an masih digemari di kedua negara. Film Bujang Lapuk (sekadar menyebut satu di antara puluhan film komedi yang dibintangi P Ramlee) begitu populer di kedua negara.
Beberapa contoh kecil ini hanya untuk menggambarkan betapa dekatnya hubungan Indonesia dan Malaysia pada saat itu.
Mukhlis PaEni, Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pranata Sosial, mengatakan bahwa saat itu hubungan budaya antarkedua negara begitu cair. Orang Indonesia akan merasa bangga saat lagu atau kesenian miliknya dimainkan negara tetangga.
Saking dekatnya hubungan Indonesia-Malaysia, kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia ini, bangsa Malaysia dianggap sebagai bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Dalam beberapa hal orang-orang Melayu ditolong oleh orang Indonesia. Pada era 1960-an, misalnya, guru-guru dari Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengangkat marwah dan harkat bangsa Melayu.
”Pemahaman seperti itu (bahwa Malaysia bagian dari Indonesia) sangat kental dalam pikiran orang Malaysia dan pikiran orang Indonesia,” kata Mukhlis.
Kenyataan ini juga diakui Datuk Zainal Kling dari Universitas Malaya, Malaysia. Bahkan, hingga kini pun begitu banyak orang Melayu-Malaysia yang masih memiliki kerabat di Indonesia. Tak terbilang pula tokoh-tokoh Melayu di Tanah Semenanjung yang terus menelusuri jejak masa silam ”pupu-poyang” mereka yang berasal dari Nusantara.
”Secara pribadi, saya sendiri amat merasakan kemesraan tentang Indonesia itu sejak kecil di kampung. Meskipun pada waktu itu kampung saya di wilayah Naning, Melaka—yang berpegang pada sistem adat perpatih (matrilineal), tapi sudah sering sekali mendengar nama-nama kelompok ”asing” seperti ”orang Jawa”, ”orang Minangkabau”, ”orang Mandailing”, atau ”orang Aceh”. Namun, ”keasingan” itu tidak sedikit pun membedakan mereka dari kelompok Melayu,” tutur Datuk Zainal Kling.
Bahkan, semasa kecil ia mengaku kerap berinteraksi dengan amat mesra dengan orang-orang ”asing” tersebut. Ia pun suka mendengar cerita atau kisah pelayaran para tetangga ”asing” dari Minangkabau yang juga mereka panggil datuk atau nenek.
”Sudah jadi kegemaran kami pula membeli lemang (ketan yang biasanya dimasak di bumbung bambu) dari Bang Leman, orang Jawa yang kawin dengan Cik Som, gadis Minang itu. Sesekali nenek kami membuka kisah sejarahnya tentang bapaknya dari tanah Mandailing, yang sudah meninggalkan kampung kami untuk pulang ke Sumatera,” ujar Datuk Zainal Kling berkisah.
Tautan budaya dan sejarah
Hubungan mesra itu tak lepas dari sejarah yang menautkan kedua bangsa. Kerajaan dan kesultanan di Malaysia banyak yang berhubungan erat dengan kesultanan yang ada di Indonesia. Negeri Sembilan, misalnya, erat kaitannya dengan Minangkabau karena Raja Negeri Sembilan berinduk ke Pagarruyung.
Selangor atau Pahang terkait erat dengan Sulawesi Selatan karena Sultan Johor adalah keturunan Kesultanan Bugis. Demikian juga Kesultanan Melaka yang merupakan keturunan dari Raja Parameswara. Cikal-bakal pendiri imperium Melaka ini datang dari Bukit Siguntang (baca: Palembang). Adapun Perak dan Kedah sangat erat hubungannya dengan Aceh.
Apalagi ketika pada tahun 1911 Melaka jatuh ke tangan Portugis. Meski pusat kekuasaan orang- orang Melayu berpindah ke Johor, dan setelah itu berganti-ganti ke Bintan-Lingga-Johor-Penyengat, namun tidak sedikit di antara bangsawan Melaka yang eksodus dan tinggal di Indonesia. Bahkan, ada yang kemudian menetap di Buton, Ternate, Makassar, atau Sumbawa. Tidak heran pula bila hampir semua tradisi Nusantara di Indonesia Timur sangat kental dipengaruhi tradisi Melayu-Melaka dan Melayu-Johor.
Sayangnya, hubungan yang mesra itu terkikis 30 tahun terakhir.
Menurut Mukhlis PaEni, selama 30 tahun terakhir kedua negara sibuk memikirkan urusan ekonomi. Malaysia gencar membangun kebun kelapa sawit dan industri, sementara Indonesia membangun kilang-kilang minyak dan lainnya.
”Akibatnya, pertautan-pertautan budaya yang menyangkut hati nurani itu tidak muncul. Yang diurus kedua belah pihak lebih tertuju pada masalah ekonomi,” kata Mukhlis.
Saat resesi ekonomi mendera, Malaysia berhasil selamat, sementara Indonesia masih juga megap-megap sehingga banyak orang Indonesia terpaksa ”melarikan diri” ke Malaysia. Saat itulah muncul berbagai konflik, termasuk konflik budaya.
Generasi muda Malaysia yang tidak mengetahui asal-usul bangsanya hanya mengenal Indonesia sebagai ”Indon” yang berkonotasi negatif. Sebaliknya, generasi muda Indonesia hanya mengenal Malaysia sebagai bangsa yang arogan. Benang merah antarkedua negara itulah yang kini terputus.
Ketegangan yang sempat muncul akibat klaim Malaysia atas sejumlah produk budaya yang juga dimiliki Indonesia sebetulnya tak perlu terjadi bila kedua pihak memahami betul sejarah tentang asal-usul kedua bangsa. Apalagi bila mengacu semangat yang disuarakan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan kebudayaan PBB) bahwa setiap negara di dunia berhak mengajukan mata-mata budaya untuk dilestarikan.
”Jadi, misalnya, suatu mata budaya dimiliki oleh beberapa negara, maka mata budaya itu berhak dilindungi tersendiri dan bersama-sama. Dengan begitu tidak ada lagi yang mengatakan engkau yang lebih tua dan aku yang lebih muda. Semua negara yang memiliki mata budaya yang sama berhak mengajukan itu sebagai warisan yang harus diselamatkan,” ujar Mukhlis.
Itu sebabnya, menurut Mukhlis, sebenarnya tidak ada masalah berarti antara Indonesia-Malaysia. ”Konflik” budaya yang beberapa waktu lalu digembor-gemborkan, kata Mukhlis, adalah bagian dari politik.
Komoditas ekonomi
Sedikit berbeda dengan Mukhlis, Al azhar—budayawan Melayu dari Riau yang sehari-hari mengelola Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji di Pekanbaru— menganggap konflik budaya terjadi karena karya-karya budaya mengalami komodifikasi. Budaya dijadikan sebagai komoditas ekonomi. Malaysia, kata Al azhar, mampu mengemas ulang bentuk budaya yang ada dan menjadikannya komoditas untuk dijual.
Dia mencontohkan, dalam konteks Melayu-Riau, kultur yang ada di Riau sama persis dengan yang ada di Malaysia. Namun, Malaysia mengalami modernisasi yang cepat. ”Jadi, kalau mau melihat Melayu yang asli sudah susah mencarinya di Malaysia,” kata Al azhar.
Itu sebabnya, untuk mengonstruksi Melayu dan kemelayuan, Malaysia mencari sumber-sumber yang mungkin untuk memperkuat eksistensi kemelayuan di negara itu. Sumber terdekat yang seagama, sebahasa, dan seadat adalah Riau yang perkembangan kebudayaannya relatif lambat.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia sendiri tidak pernah serius memelihara kebudayaan Indonesia. Negara, kata Al azhar, bahkan menzalimi bentuk-bentuk kebudayaan dan mengobok-obok sarangnya. Dia mencontohkan hancurnya budaya yang menyatu dengan alam dan lingkungan sungai akibat hancurnya alam. Kebudayaan itu pada akhirnya juga ikut sekarat.
”Ada paradoks antara yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan. Di sini, kata dan laku adalah dua hal yang berbeda,” ujarnya.
Terang Bulan terang di kali
Buaya timbul disangka mati
Jangan percaya mulut lelaki
Berani sumpah tapi takut mati...
Lagu Terang Bulan sempat sangat populer di Indonesia pada tahun 1937-1938, saat film berjudul Terang Boelan ”meledak”. Film yang ditangani Albert Balink dan wartawan Indonesia, Saroen, itu terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai Singapura dan Tanah Semenanjung.
Inilah film pertama yang ”suaranya” sempurna. Hingga beberapa puluh tahun kemudian, lagu fenomenal itu masih dinyanyikan di sekolah-sekolah. Lagu itu baru berhenti diputar pada tahun 1957 saat Malaysia mendengungkan lirik lagu Terang Bulan sebagai lagu kebangsaan mereka.
Begitu pun lagu klasik Melayu lain, macam Dondang Sayang, yang sangat akrab di telinga masyarakat Melayu di Nusantara dan di Tanah Semenanjung (baca: Malaysia). Atau lagu-lagu dan film yang mengetengahkan sosok P Ramlee sebagai seniman Melayu dari Pulau Pinang—baik sebagai penyanyi maupun aktor— yang hingga akhir 1960-an masih digemari di kedua negara. Film Bujang Lapuk (sekadar menyebut satu di antara puluhan film komedi yang dibintangi P Ramlee) begitu populer di kedua negara.
Beberapa contoh kecil ini hanya untuk menggambarkan betapa dekatnya hubungan Indonesia dan Malaysia pada saat itu.
Mukhlis PaEni, Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pranata Sosial, mengatakan bahwa saat itu hubungan budaya antarkedua negara begitu cair. Orang Indonesia akan merasa bangga saat lagu atau kesenian miliknya dimainkan negara tetangga.
Saking dekatnya hubungan Indonesia-Malaysia, kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia ini, bangsa Malaysia dianggap sebagai bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Dalam beberapa hal orang-orang Melayu ditolong oleh orang Indonesia. Pada era 1960-an, misalnya, guru-guru dari Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengangkat marwah dan harkat bangsa Melayu.
”Pemahaman seperti itu (bahwa Malaysia bagian dari Indonesia) sangat kental dalam pikiran orang Malaysia dan pikiran orang Indonesia,” kata Mukhlis.
Kenyataan ini juga diakui Datuk Zainal Kling dari Universitas Malaya, Malaysia. Bahkan, hingga kini pun begitu banyak orang Melayu-Malaysia yang masih memiliki kerabat di Indonesia. Tak terbilang pula tokoh-tokoh Melayu di Tanah Semenanjung yang terus menelusuri jejak masa silam ”pupu-poyang” mereka yang berasal dari Nusantara.
”Secara pribadi, saya sendiri amat merasakan kemesraan tentang Indonesia itu sejak kecil di kampung. Meskipun pada waktu itu kampung saya di wilayah Naning, Melaka—yang berpegang pada sistem adat perpatih (matrilineal), tapi sudah sering sekali mendengar nama-nama kelompok ”asing” seperti ”orang Jawa”, ”orang Minangkabau”, ”orang Mandailing”, atau ”orang Aceh”. Namun, ”keasingan” itu tidak sedikit pun membedakan mereka dari kelompok Melayu,” tutur Datuk Zainal Kling.
Bahkan, semasa kecil ia mengaku kerap berinteraksi dengan amat mesra dengan orang-orang ”asing” tersebut. Ia pun suka mendengar cerita atau kisah pelayaran para tetangga ”asing” dari Minangkabau yang juga mereka panggil datuk atau nenek.
”Sudah jadi kegemaran kami pula membeli lemang (ketan yang biasanya dimasak di bumbung bambu) dari Bang Leman, orang Jawa yang kawin dengan Cik Som, gadis Minang itu. Sesekali nenek kami membuka kisah sejarahnya tentang bapaknya dari tanah Mandailing, yang sudah meninggalkan kampung kami untuk pulang ke Sumatera,” ujar Datuk Zainal Kling berkisah.
Tautan budaya dan sejarah
Hubungan mesra itu tak lepas dari sejarah yang menautkan kedua bangsa. Kerajaan dan kesultanan di Malaysia banyak yang berhubungan erat dengan kesultanan yang ada di Indonesia. Negeri Sembilan, misalnya, erat kaitannya dengan Minangkabau karena Raja Negeri Sembilan berinduk ke Pagarruyung.
Selangor atau Pahang terkait erat dengan Sulawesi Selatan karena Sultan Johor adalah keturunan Kesultanan Bugis. Demikian juga Kesultanan Melaka yang merupakan keturunan dari Raja Parameswara. Cikal-bakal pendiri imperium Melaka ini datang dari Bukit Siguntang (baca: Palembang). Adapun Perak dan Kedah sangat erat hubungannya dengan Aceh.
Apalagi ketika pada tahun 1911 Melaka jatuh ke tangan Portugis. Meski pusat kekuasaan orang- orang Melayu berpindah ke Johor, dan setelah itu berganti-ganti ke Bintan-Lingga-Johor-Penyengat, namun tidak sedikit di antara bangsawan Melaka yang eksodus dan tinggal di Indonesia. Bahkan, ada yang kemudian menetap di Buton, Ternate, Makassar, atau Sumbawa. Tidak heran pula bila hampir semua tradisi Nusantara di Indonesia Timur sangat kental dipengaruhi tradisi Melayu-Melaka dan Melayu-Johor.
Sayangnya, hubungan yang mesra itu terkikis 30 tahun terakhir.
Menurut Mukhlis PaEni, selama 30 tahun terakhir kedua negara sibuk memikirkan urusan ekonomi. Malaysia gencar membangun kebun kelapa sawit dan industri, sementara Indonesia membangun kilang-kilang minyak dan lainnya.
”Akibatnya, pertautan-pertautan budaya yang menyangkut hati nurani itu tidak muncul. Yang diurus kedua belah pihak lebih tertuju pada masalah ekonomi,” kata Mukhlis.
Saat resesi ekonomi mendera, Malaysia berhasil selamat, sementara Indonesia masih juga megap-megap sehingga banyak orang Indonesia terpaksa ”melarikan diri” ke Malaysia. Saat itulah muncul berbagai konflik, termasuk konflik budaya.
Generasi muda Malaysia yang tidak mengetahui asal-usul bangsanya hanya mengenal Indonesia sebagai ”Indon” yang berkonotasi negatif. Sebaliknya, generasi muda Indonesia hanya mengenal Malaysia sebagai bangsa yang arogan. Benang merah antarkedua negara itulah yang kini terputus.
Ketegangan yang sempat muncul akibat klaim Malaysia atas sejumlah produk budaya yang juga dimiliki Indonesia sebetulnya tak perlu terjadi bila kedua pihak memahami betul sejarah tentang asal-usul kedua bangsa. Apalagi bila mengacu semangat yang disuarakan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan kebudayaan PBB) bahwa setiap negara di dunia berhak mengajukan mata-mata budaya untuk dilestarikan.
”Jadi, misalnya, suatu mata budaya dimiliki oleh beberapa negara, maka mata budaya itu berhak dilindungi tersendiri dan bersama-sama. Dengan begitu tidak ada lagi yang mengatakan engkau yang lebih tua dan aku yang lebih muda. Semua negara yang memiliki mata budaya yang sama berhak mengajukan itu sebagai warisan yang harus diselamatkan,” ujar Mukhlis.
Itu sebabnya, menurut Mukhlis, sebenarnya tidak ada masalah berarti antara Indonesia-Malaysia. ”Konflik” budaya yang beberapa waktu lalu digembor-gemborkan, kata Mukhlis, adalah bagian dari politik.
Komoditas ekonomi
Sedikit berbeda dengan Mukhlis, Al azhar—budayawan Melayu dari Riau yang sehari-hari mengelola Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji di Pekanbaru— menganggap konflik budaya terjadi karena karya-karya budaya mengalami komodifikasi. Budaya dijadikan sebagai komoditas ekonomi. Malaysia, kata Al azhar, mampu mengemas ulang bentuk budaya yang ada dan menjadikannya komoditas untuk dijual.
Dia mencontohkan, dalam konteks Melayu-Riau, kultur yang ada di Riau sama persis dengan yang ada di Malaysia. Namun, Malaysia mengalami modernisasi yang cepat. ”Jadi, kalau mau melihat Melayu yang asli sudah susah mencarinya di Malaysia,” kata Al azhar.
Itu sebabnya, untuk mengonstruksi Melayu dan kemelayuan, Malaysia mencari sumber-sumber yang mungkin untuk memperkuat eksistensi kemelayuan di negara itu. Sumber terdekat yang seagama, sebahasa, dan seadat adalah Riau yang perkembangan kebudayaannya relatif lambat.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia sendiri tidak pernah serius memelihara kebudayaan Indonesia. Negara, kata Al azhar, bahkan menzalimi bentuk-bentuk kebudayaan dan mengobok-obok sarangnya. Dia mencontohkan hancurnya budaya yang menyatu dengan alam dan lingkungan sungai akibat hancurnya alam. Kebudayaan itu pada akhirnya juga ikut sekarat.
”Ada paradoks antara yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan. Di sini, kata dan laku adalah dua hal yang berbeda,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment