Urgen, Teknologi Antipemanasan Global
“Harga (beras) melonjak karena sejumlah alasan: …; persediaan hanya untuk jangka pendek akibat cuaca yang amat dingin dan hama tikus di Vietnam, pemasok beras nomor dua dunia” (”Time”, 21/4).
Hari-hari ini salah satu topik yang paling banyak diwacanakan adalah naiknya harga beras dan bahan pangan lain. Di antara penyebabnya, selain meningkatnya permintaan, terutama oleh China dan India, dan menciutnya lahan pertanian, juga kekacauan iklim.
Selama ini memang tidak jarang panen terganggu karena gangguan iklim, tetapi melihat perkembangan perubahan iklim yang dramatis akhir-akhir ini membuat faktor iklim semakin besar peranannya dalam pertanian dan hasilnya. Dampaknya pun bagi penyediaan pangan satu negara amat besar. Adanya siklon besar di Banglades pada November silam membuat persawahan hancur dan negara ini kehilangan 800.000 ton padi, yang lalu membuatnya harus mengimpor beras dari India agar penduduk tidak kelaparan.
Namun, perlu diingat, bahwa di tengah ketakpastian sekarang ini, India sendiri merasa perlu mengamankan stok pangannya sehingga ekspor dibatasi.
Gangguan cuaca—ditambah dengan merebaknya hama tikus—juga dialami Vietnam, yang lalu juga mengurangi hasil panennya.
Sekarang ini, krisis beras di Asia dilihat masih akan berkepanjangan. Ini membuat Indonesia pun perlu saksama dalam mengelola berasnya. Mungkin terlalu terburu-buru kalau ada niat mengekspor beras karena sekarang ini ada kelebihan panen. Penghitungan cadangan beras dewasa ini perlu memasukkan unsur ketidakpastian iklim.
Berlomba dengan waktu
Sementara itu, upaya untuk mengerem perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global tampaknya masih belum akan menghasilkan kemajuan berarti.
Sejauh ini upaya difokuskan untuk menegakkan batas pada emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida. Dalam praktik ini dilakukan dengan penghematan dan penggunaan teknologi nirpolusi.
Namun, strategi di atas dihadapkan pada realita baru bahwa emisi global ternyata malah membubung dengan tingkat yang tak diduga sebelumnya, sementara efisiensi energi justru merosot.
Jeffrey Sachs, ekonom dari Institut Bumi di Universitas Columbia, menulis (di Scientific American) bahwa teknologi yang ada sekarang tidak mampu mendukung penurunan emisi karbon dioksida dan membesarkan pertumbuhan ekonomi global. (IHT, 7/4) Kalau kita tetap mencoba membatasi emisi tanpa disertai dengan penerapan teknologi baru, pertumbuhan ekonomi akan terganggu.
Teknologi yang dibutuhkan di sini adalah teknologi maju yang memancarkan karbon sedikit sekali. Namun, teknologi ini hanya bisa muncul kalau ada kucuran dana untuk merisetnya.
Akan tetapi, meski negara-negara enggan mengeluarkan dana litbang untuk tujuan di atas, dunia terus membutuhkan segera. Waktu dalam soal ini sangat kritikal karena dewasa ini warga China, India, dan negara-negara berkembang lain yang makmur sedang gencar membeli mobil. Disertai konsumsi listrik mereka yang tinggi, hal itu akan menjadikan negara-negara tersebut sebagai produsen utama GRK dalam beberapa dekade mendatang. Sekadar catatan, sekarang saja China rata-rata membangun satu pembangkit listrik bertenaga batu bara setiap minggunya.
Sebenarnya atas dasar itu pula para peneliti menyatakan bahwa yang harus diutamakan adalah kebijakan teknologi, bukan kebijakan emisi. Mereka juga menggarisbawahi perlunya inovasi teknologi.
Bekerja sama
Boleh jadi yang benar adalah kedua pendekatan dijalankan serentak, ya pengurangan emisi, ya inovasi teknologi rendah karbon. Pemberian tekanan pada teknologi baru dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa meski ada pengurangan emisi, dengan laju yang ada sekarang, pemanasan masih sulit dikendalikan. Lebih-lebih bila melihat bahwa sekarang saja masing-masing pihak masih adu kuat untuk menjalankan program pengurangan.
Dari sisi teknologi, jenis yang dipandang prospektif untuk meredam pemanasan global adalah teknologi untuk menangkap dan mengubur karbon dioksida, mobil hibrida, dan pembangkit listrik solar-termal.
Keberhasilan penerapan teknologi-teknologi itu, menurut Sachs, bergantung antara lain pada riset lebih lanjut, tersedianya infrastruktur, dan penerimaan publik, serta diterimanya investasi awal yang tidak murah.
Di satu sisi dibutuhkan secara mendesak pembaruan dalam bidang teknologi energi, tetapi pada sisi lain juga tampak besarnya tantangan yang ada, terutama dari sisi pembiayaan.
Pihak China dan India tetap bersikukuh bahwa yang harus membiayai pengembangan teknologi baru adalah AS dan negara Eropa yang sudah membakar bahan bakar fosil selama seabad lebih untuk mencapai kemajuan sekarang.
Negara-negara berkembang sendiri tampaknya sedang dilanda demam pertumbuhan sehingga menyerahkan pengembangan teknologi energi baru ke negara industri maju. India, misalnya, sedang menunggu keputusan Bank Dunia untuk mendanai proyek pembangunan pembangkit listrik batu bara ”Ultra Mega” berdaya 4 gigawatt di Negara Bagian Gujarat.
Tampak aneh di sini karena tampaknya kurang disadari bahwa pertumbuhan yang dikejar itu pada satu titik harus dibayar sangat mahal, seperti tampak pada fenomena gangguan iklim dan kelangkaan pangan.
Yang kita prihatinkan, bangsa- bangsa di dunia rupanya masih belum beranjak dari sikap saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab ke pihak lain.
Sementara Bumi makin panas saja, hingga es di kawasan kutub pun makin banyak meleleh.
No comments:
Post a Comment