Menyensor Kehidupan Kita di Dunia Jejaring Maya
Hari Selasa, 25 Maret 2008, DPR akhirnya menyetujui Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik. Ini adalah undang-undang yang telah lama dinantikan oleh para pelaku transaksi elektronik karena pada akhirnya negara Indonesia memperlihatkan keseriusannya kepada dunia sebagai suatu negara hukum yang melindungi keamanan bertransaksi di dunia maya.
Kita boleh berharap perputaran e-commerce menjadi semakin meningkat, yang kemudian berdampak kepada peningkatan ekonomi. Harus kita sadari bahwa transaksi dana secara elektronik mulai menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti melalui ATM, mobile banking, maupun internet banking.
Pembayaran untuk pemesanan pun sudah menggunakan micropayment berupa uang elektronik, pulsa telepon, voucher elektronik, dan lainnya. Fenomena seperti ini akan semakin meningkat sehingga transaksi atau peredaran uang kertas semakin kecil. Pada akhirnya kita menuju terciptanya paperless banking.
Keberadaan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) di era seperti ini selain melindungi masyarakat pengguna internet di negara ini, juga memberi peringatan kepada para penjahat dunia maya bahwa negara ini bukan tempat yang aman lagi bagi mereka.
Mengkaji pemerintah
Ada yang menarik dari tanggapan sebagian masyarakat ketika UU ITE ini disahkan, terfokus pembahasannya bukan pada manfaat ekonomi, melainkan pencegahan pornografi. Undang- undang ini diharapkan menjadi senjata pamungkas pembasmian masalah pornografi di internet, dengan memberikan ancaman dan sanksi keras bagi ”setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” (Pasal 27 Ayat 1 UU ITE).
Bentuk sanksinya adalah ancaman denda hingga Rp 12 milyar atau penjara 12 tahun. Pemerintah menargetkan pemblokiran situs-situs pornografi pada tiga tingkatan, yakni tingkat pertama kepada masyarakat, tingkat kedua di institusi/perkantoran, dan tingkat ketiga di Internet Service Providers (ISP).
Metode yang dilakukan adalah memasang peranti lunak di tingkat pertama dan kedua. Sedangkan untuk tingkat ketiga pada jenjang ISP akan dipasang perangkat pemblokiran pada simpul internet exchange terhadap situs-situs yang telah diverifikasi pemerintah sebagai situs pornografi.
Terlepas dari berbagai reaksi masyarakat akan efektif atau tidaknya langkah ini, maka kita perlu mengkaji lebih dalam sejauh mana pemerintah akan melakukan pemblokiran atau filtering ini. Di China, pemblokiran ditujukan kepada situs-situs yang menentang ideologi pemerintah, politik, sampai pada search engine terbesar di dunia seperti Google.
Sementara di Korea Selatan, situs yang diblokir oleh pemerintah adalah segala sesuatu yang menyangkut topik Korea Utara. Bila UU ITE ini ditujukan untuk mengatur kesusilaan, maka pemblokiran pun akan ditujukan pada konten-konten yang mengandung SARA, perjudian, penghinaan, termasuk pencemaran nama baik.
Sebelum memberlakukan kebijakan pemblokiran terhadap suatu kategori, diperlukan perumusan yang ekstensif tentang tata cara dan laksana mekanismenya. Idealnya, pemerintah menjalani terlebih dahulu proses perdebatan atau tukar pikiran yang dalam tentang penentuan situs-situs yang menjadi target, manfaat, dan kerugian sistem pemblokiran tersebut tanpa menurunkan pencapaian target pencerdasan bangsa melalui informasi elektronik.
Untuk ini, perlu ditetapkan kebijakan filtering menyangkut sistem prosedur operasionalnya. Akan lebih baik lagi bila proses filtering diberitahukan secara transparan kepada publik. Artinya, publik paham bahwa pemerintah memiliki pusat data dan log yang ditempatkan di proxy server.
Semua permohonan mengakses ke suatu situs atau halaman yang diterima dari dalam negeri akan diterima oleh proxy ini dengan cara melakukan verifikasi terhadap daftar hitam yang telah terdata. Situs yang masuk daftar hitam akan ditolak secara otomatis.
Si pemohon akan melihat pemberitahuan bahwa situs yang akan diakses termasuk dalam daftar situs terlarang. Begitupun bila situs tersebut dinyatakan aman, maka si pemohon bisa melanjutkan penjelajahannya di dunia maya.
Di Arab Saudi, daftar situs-situs terlarang bisa dibeli dari perusahaan swasta yang mempunyai spesialisasi kompilasi data-data. Secara berkala, pemerintah mempunyai kontrak dengan perusahaan swasta tersebut melakukan pemutakhiran data. Tentu saja, bekerja dengan swasta bukan satu-satunya cara dalam membentuk suatu database yang lengkap.
Partisipasi publik
Pemerintah hendaknya mempunyai badan tersendiri yang berfungsi sebagai pusat sensor serta melakukan kompilasi situs-situs terlarang juga. Bila ingin lebih efektif lagi, masyarakat juga diberi kesempatan memasukkan daftar situs-situs yang perlu diblokir.
Kerja sama seperti ini melibatkan partisipasi publik secara aktif dan mendorong tanggung jawab sosial secara bersama. Kalau tadi kita baru saja membahas proses pemblokiran, selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana me-release situs aman yang terblokir.
Pemerintah harus menyediakan mekanisme bagi pemilik konten untuk dapat mengajukan permohonan pengangkatan blokir kepada dewan sensor. Transparansi akan prosedur pemblokiran seperti ini memberikan kenyamanan bagi pengguna internet dan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap sistem filtering yang diterapkan.
Tahap selanjutnya merancang bentuk infrastruktur internet, pengamanan (firewall) dan teknologi pemblokiran yang tepat. Penempatan server proxy di internet backbone atau internet exchange mempunyai fungsi langsung membentengi pertahanan jaringan internet di Indonesia.
Desain arsitektur dari sistem pengamanan ini sebaiknya dirahasiakan demi meminimalkan serangan dari luar. Para penyerang tidak dengan mudah menembus dinding firewall jika mereka tidak tahu struktur jejaring yang dibangun.
Kompleksitas desain network yang dikombinasikan dengan implementasi beberapa macam peranti lunak yang memproses filtering hendaknya menghasilkan suatu sistem ketahanan yang andal. Dengan hadirnya UU ITE, maka inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk segera membangun jaringan internet yang aman untuk melindungi bangsa dan negara.
Kita boleh berharap perputaran e-commerce menjadi semakin meningkat, yang kemudian berdampak kepada peningkatan ekonomi. Harus kita sadari bahwa transaksi dana secara elektronik mulai menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti melalui ATM, mobile banking, maupun internet banking.
Pembayaran untuk pemesanan pun sudah menggunakan micropayment berupa uang elektronik, pulsa telepon, voucher elektronik, dan lainnya. Fenomena seperti ini akan semakin meningkat sehingga transaksi atau peredaran uang kertas semakin kecil. Pada akhirnya kita menuju terciptanya paperless banking.
Keberadaan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) di era seperti ini selain melindungi masyarakat pengguna internet di negara ini, juga memberi peringatan kepada para penjahat dunia maya bahwa negara ini bukan tempat yang aman lagi bagi mereka.
Mengkaji pemerintah
Ada yang menarik dari tanggapan sebagian masyarakat ketika UU ITE ini disahkan, terfokus pembahasannya bukan pada manfaat ekonomi, melainkan pencegahan pornografi. Undang- undang ini diharapkan menjadi senjata pamungkas pembasmian masalah pornografi di internet, dengan memberikan ancaman dan sanksi keras bagi ”setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” (Pasal 27 Ayat 1 UU ITE).
Bentuk sanksinya adalah ancaman denda hingga Rp 12 milyar atau penjara 12 tahun. Pemerintah menargetkan pemblokiran situs-situs pornografi pada tiga tingkatan, yakni tingkat pertama kepada masyarakat, tingkat kedua di institusi/perkantoran, dan tingkat ketiga di Internet Service Providers (ISP).
Metode yang dilakukan adalah memasang peranti lunak di tingkat pertama dan kedua. Sedangkan untuk tingkat ketiga pada jenjang ISP akan dipasang perangkat pemblokiran pada simpul internet exchange terhadap situs-situs yang telah diverifikasi pemerintah sebagai situs pornografi.
Terlepas dari berbagai reaksi masyarakat akan efektif atau tidaknya langkah ini, maka kita perlu mengkaji lebih dalam sejauh mana pemerintah akan melakukan pemblokiran atau filtering ini. Di China, pemblokiran ditujukan kepada situs-situs yang menentang ideologi pemerintah, politik, sampai pada search engine terbesar di dunia seperti Google.
Sementara di Korea Selatan, situs yang diblokir oleh pemerintah adalah segala sesuatu yang menyangkut topik Korea Utara. Bila UU ITE ini ditujukan untuk mengatur kesusilaan, maka pemblokiran pun akan ditujukan pada konten-konten yang mengandung SARA, perjudian, penghinaan, termasuk pencemaran nama baik.
Sebelum memberlakukan kebijakan pemblokiran terhadap suatu kategori, diperlukan perumusan yang ekstensif tentang tata cara dan laksana mekanismenya. Idealnya, pemerintah menjalani terlebih dahulu proses perdebatan atau tukar pikiran yang dalam tentang penentuan situs-situs yang menjadi target, manfaat, dan kerugian sistem pemblokiran tersebut tanpa menurunkan pencapaian target pencerdasan bangsa melalui informasi elektronik.
Untuk ini, perlu ditetapkan kebijakan filtering menyangkut sistem prosedur operasionalnya. Akan lebih baik lagi bila proses filtering diberitahukan secara transparan kepada publik. Artinya, publik paham bahwa pemerintah memiliki pusat data dan log yang ditempatkan di proxy server.
Semua permohonan mengakses ke suatu situs atau halaman yang diterima dari dalam negeri akan diterima oleh proxy ini dengan cara melakukan verifikasi terhadap daftar hitam yang telah terdata. Situs yang masuk daftar hitam akan ditolak secara otomatis.
Si pemohon akan melihat pemberitahuan bahwa situs yang akan diakses termasuk dalam daftar situs terlarang. Begitupun bila situs tersebut dinyatakan aman, maka si pemohon bisa melanjutkan penjelajahannya di dunia maya.
Di Arab Saudi, daftar situs-situs terlarang bisa dibeli dari perusahaan swasta yang mempunyai spesialisasi kompilasi data-data. Secara berkala, pemerintah mempunyai kontrak dengan perusahaan swasta tersebut melakukan pemutakhiran data. Tentu saja, bekerja dengan swasta bukan satu-satunya cara dalam membentuk suatu database yang lengkap.
Partisipasi publik
Pemerintah hendaknya mempunyai badan tersendiri yang berfungsi sebagai pusat sensor serta melakukan kompilasi situs-situs terlarang juga. Bila ingin lebih efektif lagi, masyarakat juga diberi kesempatan memasukkan daftar situs-situs yang perlu diblokir.
Kerja sama seperti ini melibatkan partisipasi publik secara aktif dan mendorong tanggung jawab sosial secara bersama. Kalau tadi kita baru saja membahas proses pemblokiran, selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana me-release situs aman yang terblokir.
Pemerintah harus menyediakan mekanisme bagi pemilik konten untuk dapat mengajukan permohonan pengangkatan blokir kepada dewan sensor. Transparansi akan prosedur pemblokiran seperti ini memberikan kenyamanan bagi pengguna internet dan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap sistem filtering yang diterapkan.
Tahap selanjutnya merancang bentuk infrastruktur internet, pengamanan (firewall) dan teknologi pemblokiran yang tepat. Penempatan server proxy di internet backbone atau internet exchange mempunyai fungsi langsung membentengi pertahanan jaringan internet di Indonesia.
Desain arsitektur dari sistem pengamanan ini sebaiknya dirahasiakan demi meminimalkan serangan dari luar. Para penyerang tidak dengan mudah menembus dinding firewall jika mereka tidak tahu struktur jejaring yang dibangun.
Kompleksitas desain network yang dikombinasikan dengan implementasi beberapa macam peranti lunak yang memproses filtering hendaknya menghasilkan suatu sistem ketahanan yang andal. Dengan hadirnya UU ITE, maka inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk segera membangun jaringan internet yang aman untuk melindungi bangsa dan negara.
Sylvia W Sumarlin Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
No comments:
Post a Comment