Indonesia-Malaysia di Persimpangan Jalan
Sejumlah cerdik-cendekia dari Tanah Semenanjung (baca: Malaysia) mengaku heran mengapa orang-orang Indonesia begitu marah dan naik pitam disebut ”Indon”. Bagi mereka, ”Indon” sekadar akronim. Tanpa pretensi, sebagaimana ungkapan Bangla untuk orang-orang Banglades, Viet untuk orang Vietnam, atau Thai bagi orang-orang dari Thailand.
"Sungguh, tak ada niat untuk merendahkan,” kata Profesor Madya Datuk Zainal Abidin Borhan dari Akademi Pengkajian Melayu, Universitas Malaya.
Hanya saja, dalam dialog budaya Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, penjelasan yang didedahkan oleh para cerdik-cendekia dari Tanah Semenanjung tersebut lebih bersifat pembelaan diri. Hanya semacam apologi. Alhasil, yang muncul ke permukaan justru terkesan sebagai langkah (baca: strategi) menghindar dari persoalan, tanpa upaya untuk memahami hakikat terdalam dari ”kemarahan” orang-orang Indonesia atas penyebutan ”Indon” itu sendiri.
Untung ada Taufik Abdullah. Sejarawan-budayawan yang juga mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mencoba meletakkan duduk masalahnya dari perspektif kesejarahan. Di depan forum itu ia bukan saja ber-”kisah” tentang pengalaman kolektif kedua bangsa serumpun ini, tetapi juga memberi perspektif kepada para sejawatnya dari Malaysia tentang makna kesejatian di balik penabalan nama ”Indonesia” bagi negara bekas jajahan Belanda ini. Indonesia sebagai label bangsa adalah sebuah keniscayaan.
Bahwa, kata Taufik Abdullah, rekonstruksi kritis dari sejarah pertumbuhan bangsa Indonesia—yang semula tak lebih dari kesatuan-kesatuan etnis yang hanya diikat oleh kepentingan dagang dan politik, kesamaan pokok-pokok aspek kultural, serta pengalaman sejarah, dan akhirnya menjadi sebuah bangsa—merupakan pengetahuan yang selalu dipupuk dan dipelihara. Dari sini lalu muncul kesadaran kebangsaan, nasionalisme, yang melampaui batas-batas etnis dan daerah.
Dalam struktur pengetahuan ini pula ditunjukkan bagaimana sebuah nama yang melingkupi semua anak bangsa akhirnya harus ditemukan. Nama Indonesia yang diambil dari konsep antropologi yang diperkenalkan ilmuwan Inggris, Earl dan Logan—tetapi dipopulerkan oleh Afdolf Bastian, seorang ilmuwan Jerman—pun mulai digunakan oleh Bung Hatta dan kawan-kawan pada 1924. Hebatnya, nama yang memicu semangat kebangsaan ini dicuatkan tidak di ”kampung halaman” mereka yang kala itu masih bernama Hindia Belanda, tetapi justru di jantung negeri penjajahnya: Amsterdam!
”Bagi kami, Indonesia adalah suatu pernyataan dari tujuan politik karena nama ini adalah simbol tanah air di masa depan,” kata Bung Hatta. Sebelumnya, Bung Hata bersama segelintir pemuda yang sedang belajar di Negeri Belanda mengganti nama organisasi mahasiswa yang mereka dirikan dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).
Nama ”Indonesia” kemudian dikukuhkan sebagai nama bangsa dan tanah air lewat Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928. Sejak itu pula, bukan saja gerakan nasionalisme semakin memiliki bentuk yang jelas, pengakuan nama ”Indonesia” sebagai pengganti Hindia Belanda dan inlanders pun mulai diperjuangkan.
Sejarah Indonesia pun mencatat itu semua dengan tinta emas. Dalam perjuangan itu ratusan nasionalis yang sempat dipenjara, dibuang ke berbagai daerah terpencil, serta tak terhitung jumlah pejuang yang tewas dalam perang kemerdekaan.
”Karena itu, mestikah diherankan kalau orang Indonesia— setidaknya yang agak terpelajar—dengan mudah akan tersinggung terhadap ucapan ’Indon’; meskipun mungkin maksudnya tidak merendahkan atau hanya kebiasaan semata. Soalnya ialah ’Indonesia’ disadari benar sebagai simbol dari cita-cita yang diperjuangkan dengan darah dan air mata,” papar Taufik.
Batu sandungan
Gugatan atas penabalan istilah ”Indon” oleh Malaysia terhadap orang-orang Indonesia, terutama mereka yang datang ke negeri jiran tersebut, hanyalah satu dari sekian banyak kerikil yang menjadi batu sandungan hubungan kedua negara. Persoalan seputar penanganan tenaga kerja Indonesia alias TKI di sana, masalah perbatasan, hingga klaim atas produk budaya yang memiliki banyak persamaan juga jadi masalah tersendiri dalam kehidupan antarbangsa serumpun ini.
Pengakuan Malaysia sebagai ”adik” atas Indonesia sebagai ”abang” tidak serta-merta memuluskan hubungan kekerabatan yang sudah terjalin berabad-abad lampau. Berbagai upaya yang dilakukan kedua pihak untuk meredam ”silang-sengketa” itu—dalam kasus terakhir terutama dipicu lepasnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia dan beralih ke Malaysia—sejauh ini baru bisa meredakan aksi-aksi bersifat frontal.
Berbagai forum dialog antarbangsa, ”pembangunan jembatan budaya” melalui pentas kesenian oleh institusi resmi pemerintahan, hingga pertemuan-pertemuan informal antarindividu di bidang kebudayaan memang terus mewarnai jalinan kekerabatan antarnegara serumpun ini.
Musisi-musisi dari Indonesia masih saja laku berpentas di negeri jiran tersebut. Begitu pun sebaliknya. Cukup banyak penyanyi Malaysia—taruhlah seperti Siti Nurhaliza, Amy Search, atau Anita Sarawak pada dekade lalu—yang sempat meroket namanya di Indonesia lewat sederetan lagu-lagu mereka. Jauh ke belakang lagi, nama aktor-penyanyi P Ramlee pun begitu akrab bagi kalangan masyarakat Melayu di Kepulauan Nusantara pada beberapa dekade lalu.
Bahkan, Indonesia dan Malaysia (belakangan juga melibatkan Brunei Darussalam) sudah menjalin kerja sama di bidang kebahasaan sejak 1972. Dengan titik berat pada penyamaan ejaan bahasa Melayu/Indonesia di kedua negara, serta ”menciptakan” istilah-istilah di bidang keilmuan, upaya untuk menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa internasional terus dipupuk.
Lewat lembaga kerja sama yang kemudian dinamakan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) itu, sedikitnya 270.000 istilah keilmuan sudah disepakati. Hanya saja, upaya penyamaan ejaan dan ”penciptaan” istilah-istilah keilmuan itu praktis tak bergaung. Kenyataannya di setiap negara aspek kebahasaan dan peristilahan berkembang dengan arahnya sendiri.
Boleh jadi betul sinyalemen Tan Sri Dato’ Ismail Hussein, tokoh Melayu dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Gapena). Katanya, walaupun kedua bangsa ini telah 50 atau 60 tahun merdeka, tetapi masing-masing masih hidup dalam semangat nasionalisme yang kental.
”Demi dan atas nama nasionalisme kita membina wilayah sendiri dengan identitas sendiri. Negara-negara jiran lalu dilihat sebagai saingan, dan saingan itu menjadi sangat rumit apabila kita adalah sekeluarga, yang mewarisi banyak persamaan, terutama dari masa lampau,” ujar Tan Sri.
Padahal, kedua negara memiliki sejarah panjang sebagai bangsa serumpun. Adalah Raja Parameswara, atau kerap disebut sebagai Iskandar Syah (dalam kitab Sejarah Melayu disebut-sebut juga nama Sang Nila Utama), yang merupakan cikal bakal raja-raja Melayu. Parameswara adalah raja dari masa-masa akhir Sriwijaya yang hijrah dari Bukit Siguntang (baca: Palembang) dan membangun imperium di Melaka—setelah sebelumnya singgah selama beberapa tahun di Tumasik (Singapura)—pada akhir abad ke-14.
Dalam perkembangan lain, orang-orang Minangkabau menjelajah hingga menjadi raja di Negeri Sembilan, kelompok Bugis bertakhta di Johor, sementara orang Aceh banyak bermukim di Kedah dan Perak. Anak-cucu para perantau dari Kepulauan Nusantara ini lalu menetap dan menjadikan kawasan Tanah Semenanjung sebagai ”negeri baru” mereka, dan menjadi negara sendiri setelah setiap wilayah lepas dari cengkeraman pejajah: Inggris dan Belanda.
Hubungan sebagai bangsa serumpun itu terus dipupuk. Politik ”konfrontasi” pada era Presiden Sukarno pada 1960-an tak membuat kekerabatan itu hancur. Karya-karya sastra Indonesia masih jadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Tanah Semenanjung, juga di Sabah dan Sarawak. Guru-guru dari Indonesia pun didatangkan ke Malaysia.
Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Datuk Zainal Kling, guru besar dari Universitas Malaya, Malaysia, perkembangan politik dan hubungan kritikal antarnegara kemudian mematikan kemesraan itu. Keserumpunan berangsur-angsur berubah menjadi sekadar ungkapan. Masing-masing berjalan dengan ide dan semangat yang, kalau tak boleh dibilang berseberangan, tak saling mendukung.
Padahal, meminjam pernyataan Tan Sri Dato’ Ismail Hussein, ”Kalau saja Indonesia dan Malaysia ”digabungkan” tentulah merupakan dataran tamadun Melayu yang utama di Asia Tenggara. Malah bukan tidak mungkin di dunia!”
Sejumlah cerdik-cendekia dari Tanah Semenanjung (baca: Malaysia) mengaku heran mengapa orang-orang Indonesia begitu marah dan naik pitam disebut ”Indon”. Bagi mereka, ”Indon” sekadar akronim. Tanpa pretensi, sebagaimana ungkapan Bangla untuk orang-orang Banglades, Viet untuk orang Vietnam, atau Thai bagi orang-orang dari Thailand.
"Sungguh, tak ada niat untuk merendahkan,” kata Profesor Madya Datuk Zainal Abidin Borhan dari Akademi Pengkajian Melayu, Universitas Malaya.
Hanya saja, dalam dialog budaya Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, penjelasan yang didedahkan oleh para cerdik-cendekia dari Tanah Semenanjung tersebut lebih bersifat pembelaan diri. Hanya semacam apologi. Alhasil, yang muncul ke permukaan justru terkesan sebagai langkah (baca: strategi) menghindar dari persoalan, tanpa upaya untuk memahami hakikat terdalam dari ”kemarahan” orang-orang Indonesia atas penyebutan ”Indon” itu sendiri.
Untung ada Taufik Abdullah. Sejarawan-budayawan yang juga mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mencoba meletakkan duduk masalahnya dari perspektif kesejarahan. Di depan forum itu ia bukan saja ber-”kisah” tentang pengalaman kolektif kedua bangsa serumpun ini, tetapi juga memberi perspektif kepada para sejawatnya dari Malaysia tentang makna kesejatian di balik penabalan nama ”Indonesia” bagi negara bekas jajahan Belanda ini. Indonesia sebagai label bangsa adalah sebuah keniscayaan.
Bahwa, kata Taufik Abdullah, rekonstruksi kritis dari sejarah pertumbuhan bangsa Indonesia—yang semula tak lebih dari kesatuan-kesatuan etnis yang hanya diikat oleh kepentingan dagang dan politik, kesamaan pokok-pokok aspek kultural, serta pengalaman sejarah, dan akhirnya menjadi sebuah bangsa—merupakan pengetahuan yang selalu dipupuk dan dipelihara. Dari sini lalu muncul kesadaran kebangsaan, nasionalisme, yang melampaui batas-batas etnis dan daerah.
Dalam struktur pengetahuan ini pula ditunjukkan bagaimana sebuah nama yang melingkupi semua anak bangsa akhirnya harus ditemukan. Nama Indonesia yang diambil dari konsep antropologi yang diperkenalkan ilmuwan Inggris, Earl dan Logan—tetapi dipopulerkan oleh Afdolf Bastian, seorang ilmuwan Jerman—pun mulai digunakan oleh Bung Hatta dan kawan-kawan pada 1924. Hebatnya, nama yang memicu semangat kebangsaan ini dicuatkan tidak di ”kampung halaman” mereka yang kala itu masih bernama Hindia Belanda, tetapi justru di jantung negeri penjajahnya: Amsterdam!
”Bagi kami, Indonesia adalah suatu pernyataan dari tujuan politik karena nama ini adalah simbol tanah air di masa depan,” kata Bung Hatta. Sebelumnya, Bung Hata bersama segelintir pemuda yang sedang belajar di Negeri Belanda mengganti nama organisasi mahasiswa yang mereka dirikan dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).
Nama ”Indonesia” kemudian dikukuhkan sebagai nama bangsa dan tanah air lewat Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928. Sejak itu pula, bukan saja gerakan nasionalisme semakin memiliki bentuk yang jelas, pengakuan nama ”Indonesia” sebagai pengganti Hindia Belanda dan inlanders pun mulai diperjuangkan.
Sejarah Indonesia pun mencatat itu semua dengan tinta emas. Dalam perjuangan itu ratusan nasionalis yang sempat dipenjara, dibuang ke berbagai daerah terpencil, serta tak terhitung jumlah pejuang yang tewas dalam perang kemerdekaan.
”Karena itu, mestikah diherankan kalau orang Indonesia— setidaknya yang agak terpelajar—dengan mudah akan tersinggung terhadap ucapan ’Indon’; meskipun mungkin maksudnya tidak merendahkan atau hanya kebiasaan semata. Soalnya ialah ’Indonesia’ disadari benar sebagai simbol dari cita-cita yang diperjuangkan dengan darah dan air mata,” papar Taufik.
Batu sandungan
Gugatan atas penabalan istilah ”Indon” oleh Malaysia terhadap orang-orang Indonesia, terutama mereka yang datang ke negeri jiran tersebut, hanyalah satu dari sekian banyak kerikil yang menjadi batu sandungan hubungan kedua negara. Persoalan seputar penanganan tenaga kerja Indonesia alias TKI di sana, masalah perbatasan, hingga klaim atas produk budaya yang memiliki banyak persamaan juga jadi masalah tersendiri dalam kehidupan antarbangsa serumpun ini.
Pengakuan Malaysia sebagai ”adik” atas Indonesia sebagai ”abang” tidak serta-merta memuluskan hubungan kekerabatan yang sudah terjalin berabad-abad lampau. Berbagai upaya yang dilakukan kedua pihak untuk meredam ”silang-sengketa” itu—dalam kasus terakhir terutama dipicu lepasnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia dan beralih ke Malaysia—sejauh ini baru bisa meredakan aksi-aksi bersifat frontal.
Berbagai forum dialog antarbangsa, ”pembangunan jembatan budaya” melalui pentas kesenian oleh institusi resmi pemerintahan, hingga pertemuan-pertemuan informal antarindividu di bidang kebudayaan memang terus mewarnai jalinan kekerabatan antarnegara serumpun ini.
Musisi-musisi dari Indonesia masih saja laku berpentas di negeri jiran tersebut. Begitu pun sebaliknya. Cukup banyak penyanyi Malaysia—taruhlah seperti Siti Nurhaliza, Amy Search, atau Anita Sarawak pada dekade lalu—yang sempat meroket namanya di Indonesia lewat sederetan lagu-lagu mereka. Jauh ke belakang lagi, nama aktor-penyanyi P Ramlee pun begitu akrab bagi kalangan masyarakat Melayu di Kepulauan Nusantara pada beberapa dekade lalu.
Bahkan, Indonesia dan Malaysia (belakangan juga melibatkan Brunei Darussalam) sudah menjalin kerja sama di bidang kebahasaan sejak 1972. Dengan titik berat pada penyamaan ejaan bahasa Melayu/Indonesia di kedua negara, serta ”menciptakan” istilah-istilah di bidang keilmuan, upaya untuk menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa internasional terus dipupuk.
Lewat lembaga kerja sama yang kemudian dinamakan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) itu, sedikitnya 270.000 istilah keilmuan sudah disepakati. Hanya saja, upaya penyamaan ejaan dan ”penciptaan” istilah-istilah keilmuan itu praktis tak bergaung. Kenyataannya di setiap negara aspek kebahasaan dan peristilahan berkembang dengan arahnya sendiri.
Boleh jadi betul sinyalemen Tan Sri Dato’ Ismail Hussein, tokoh Melayu dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Gapena). Katanya, walaupun kedua bangsa ini telah 50 atau 60 tahun merdeka, tetapi masing-masing masih hidup dalam semangat nasionalisme yang kental.
”Demi dan atas nama nasionalisme kita membina wilayah sendiri dengan identitas sendiri. Negara-negara jiran lalu dilihat sebagai saingan, dan saingan itu menjadi sangat rumit apabila kita adalah sekeluarga, yang mewarisi banyak persamaan, terutama dari masa lampau,” ujar Tan Sri.
Padahal, kedua negara memiliki sejarah panjang sebagai bangsa serumpun. Adalah Raja Parameswara, atau kerap disebut sebagai Iskandar Syah (dalam kitab Sejarah Melayu disebut-sebut juga nama Sang Nila Utama), yang merupakan cikal bakal raja-raja Melayu. Parameswara adalah raja dari masa-masa akhir Sriwijaya yang hijrah dari Bukit Siguntang (baca: Palembang) dan membangun imperium di Melaka—setelah sebelumnya singgah selama beberapa tahun di Tumasik (Singapura)—pada akhir abad ke-14.
Dalam perkembangan lain, orang-orang Minangkabau menjelajah hingga menjadi raja di Negeri Sembilan, kelompok Bugis bertakhta di Johor, sementara orang Aceh banyak bermukim di Kedah dan Perak. Anak-cucu para perantau dari Kepulauan Nusantara ini lalu menetap dan menjadikan kawasan Tanah Semenanjung sebagai ”negeri baru” mereka, dan menjadi negara sendiri setelah setiap wilayah lepas dari cengkeraman pejajah: Inggris dan Belanda.
Hubungan sebagai bangsa serumpun itu terus dipupuk. Politik ”konfrontasi” pada era Presiden Sukarno pada 1960-an tak membuat kekerabatan itu hancur. Karya-karya sastra Indonesia masih jadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Tanah Semenanjung, juga di Sabah dan Sarawak. Guru-guru dari Indonesia pun didatangkan ke Malaysia.
Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Datuk Zainal Kling, guru besar dari Universitas Malaya, Malaysia, perkembangan politik dan hubungan kritikal antarnegara kemudian mematikan kemesraan itu. Keserumpunan berangsur-angsur berubah menjadi sekadar ungkapan. Masing-masing berjalan dengan ide dan semangat yang, kalau tak boleh dibilang berseberangan, tak saling mendukung.
Padahal, meminjam pernyataan Tan Sri Dato’ Ismail Hussein, ”Kalau saja Indonesia dan Malaysia ”digabungkan” tentulah merupakan dataran tamadun Melayu yang utama di Asia Tenggara. Malah bukan tidak mungkin di dunia!”
No comments:
Post a Comment