Mobil China
Perlu Waktu untuk Membangun Merek
Chery QQ
Artikel tentang mobil China di harian International Herald Tribune, 22 April 2008, di halaman 12, sangat menarik untuk dibaca. Alinea-alinea awal berisi percakapan antara seorang ibu yang ingin membeli mobil buatan China dan putrinya yang bersekolah di sekolah bisnis.
Irma Cortez, seorang pramuniaga produk pembersih di Ekuador, memerlukan sebuah mobil untuk mendukung pekerjaannya. Pilihannya jatuh pada Changhe, sebuah mobil mungil, yang harga jualnya 25 persen di bawah mobil-mobil sekelasnya.
”Putri saya mengatakan, ’Jangan membeli mobil China karena mereknya belum terkenal.’ Saya juga memiliki beberapa catatan mengenai kualitasnya, tetapi mempertimbangkan kemampuan ekonomi saya, keputusan untuk membeli mobil itu rasanya masuk akal,” papar Cortez.
Mobil-mobil buatan China yang sudah lebih dari satu tahun lalu lalang di ruas-ruas jalan kota Quito, Ekuador, dengan cepat tumbuh dan ikut serta menyumbat aliran lalu lintas di kota tersebut.
Namun, seperti juga Jepang dan Korea Selatan yang telah mendahuluinya, China pun mengalami kenyataan bahwa mereka harus lebih dulu memenangi hati konsumen dengan menawarkan harga yang murah, sebelum membangun reputasi mereknya.
”Orang banyak tidak mengetahui mobil-mobil ini, mereka hanya melihat mobil-mobil itu buatan China, dan berpikir mobil-mobil itu buruk atau jelek,” kata Rafael Bader, seorang direktur komersial di Cinascar, importir mobil China yang terbesar di Ekuador, Kolombia, dan Venezuela. ”Itu adalah kenyataan yang harus kami hadapi. Keragu-raguan terhadap kualitas mobil buatan China sulit untuk digoyah,” tambahnya.
Changhe Ideal, mobil yang dipertimbangkan oleh Irma Cortez, mempunyai beberapa cacat yang bahkan terlihat oleh mata orang awam. Cacat itu mulai dari logo, cat mobil yang pada beberapa sudut kurang rapi, sampai jarak antarpanel yang tidak sama. Namun, dengan harga setara dengan 8.000 dollar AS (sekitar Rp 72 juta), apa yang dapat Anda harapkan. Itu sebabnya perusahaan pembuat mobil China lebih mudah menjual mobil di negara berkembang, yang mempunyai standar keamanan (safety) dan standar emisi cenderung lebih rendah.
Memang tidak mudah untuk membangun reputasi merek, diperlukan waktu yang lama untuk itu. Perusahaan pembuat mobil Jepang dan Korea Selatan telah mengalami hal itu. Keadaan yang sama juga berlaku di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan mobil Jepang, seperti Toyota, Nissan (Datsun), Honda, Mitsubishi, Mazda, dan Daihatsu, yang masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an mengalami hal itu. Pada tahun 1970-an, ketika pasar mobil Indonesia dikuasai oleh mobil-mobil buatan Amerika Serikat dan Eropa Barat, mobil-mobil buatan Jepang hanya dipandang sebelah mata. Pada masa itu bodi mobil Jepang tipis sehingga diejek berbodi kaleng kerupuk. Ejekan itu muncul untuk menggambarkan bahwa kualitas mobil Jepang tidak sebaik mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa.
Harga jual yang murah tidak membuat mobil Jepang menjadi laku dijual, malahan dianggap sebagai pembenaran bahwa kualitasnya tidak sebaik mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat akhirnya menerima bahwa mobil Jepang itu tidak kalah dibandingkan dengan mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa.
Apalagi ketika bahan bakar minyak (BBM) sempat langka dan harganya meningkat, banyak orang yang menengok ke mobil-mobil Jepang, yang pada masa akhir tahun 1970-an dikenal irit BBM. Secara perlahan-lahan mobil-mobil Jepang mulai mendominasi pasar mobil Indonesia.
Perusahaan-perusahaan pembuat mobil Korea Selatan, seperti Hyundai dan KIA, pun mengalami hal yang lebih kurang sama. Mobil-mobil Korea Selatan, yang masuk ke Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an, masih sulit menyaingi mobil-mobil Jepang yang sudah hadir 20 tahunan lebih dulu. Padahal dalam beberapa kasus, kualitas mobil Korea Selatan tidak kalah daripada pesaingnya dari Jepang, dijual dengan harga yang lebih murah. Memang pembeli mobil-mobil Korea Selatan bertambah dari tahun ke tahun, tetapi dari segi jumlah masih sangat jauh di bawah jumlah pembeli mobil Jepang.
Mobil China
Perusahaan pembuat mobil China pun mengalami masalah yang sama. Pada tahun 2006 salah satu mobil China, Chery QQ (baca: kiu-kiu), yang berkategori mobil kota (city car), memasuki pasar Indonesia. Chery QQ dijual pada kisaran harga Rp 75,9 juta sampai Rp 80,2 juta, di bawah harga pesaing-pesaingnya, yakni Chevrolet Spark yang dijual pada harga Rp 99 juta-Rp 109 juta, Hyundai Atoz (Rp 96,25 juta-Rp 118 juta), KIA Picanto (Rp 86,45 juta-Rp 123,8 juta), Proton Savvy (Rp 95 juta-Rp 107 juta), Subaru R1 Rp 155 juta dan Subaru R2 Rp 145 juta, serta Suzuki Karimun Estilo Rp 101,5 juta.
Dalam tahun 2007, Chery QQ terjual sekitar 800 unit. Dan, dalam tiga bulan pertama tahun 2008 (Januari sampai Maret), dari sebanyak 2.852 unit mobil kota yang terjual, Chery QQ menempati tempat ketiga dengan total penjualan sebanyak 175 unit. Urutan pertama ditempati oleh Suzuki Karimun Estilo yang dimasukkan dari India dengan penjualan sebanyak 2.048 unit dan diikuti oleh KIA Picanto dengan penjualan sebanyak 488 unit.
Di luar QQ, Chery juga hadir dengan sport utility vehicle (SUV), Tiggo 2.0. Chery Tiggo yang selintas mirip dengan Honda CRV lama itu diperkenalkan dalam Indonesian Internasional Motor Show 2007 dan dijual dengan harga Rp 147,5 juta. Dari segi harga, Chery Tiggo masuk ke dalam segmen yang ditempati Daihatsu Terios, Toyota Rush, dan Suzuki SX4. Namun, dari segi kapasitas mesinnya yang 2.0 Liter, Chery Tiggo masuk ke segmen yang ditempati oleh Chevrolet Captiva, Ford Escape, Honda CRV, Hyundai Tucson, KIA Sportage II, Mazda Tribute, Suzuki Grand Vitara, dan Nissan XTrail.
Dalam tiga bulan pertama 2008, Chery Tiggo hanya terjual sebanyak 50 unit. Jumlah itu sangat kecil bila dibandingkan dengan Daihatsu Terios (Rp 127 juta-Rp 164,5 juta) dan Toyota Rush (Rp 159,8 juta-Rp 183,8 juta) yang terjual di atas 3.000 unit. Demikian juga bila dibandingkan dengan Honda CRV (Rp 278 juta-Rp 306 juta) yang terjual sebanyak 5.715 unit.
Honda CRV diikuti oleh Suzuki Grand Vitara (Rp 206 juta-Rp 238 juta) dengan penjualan sebesar 1.785 unit, Nissan XTrail (Rp 240,5 juta-Rp 303 juta) sebanyak 503 unit, dan Chevrolet Captiva (Rp 262 juta-Rp 274,1 juta) sebanyak 333 unit.
Semua data di atas memperlihatkan bahwa harga murah saja tidak membuat sebuah mobil laku dijual, apalagi di Indonesia. Di Indonesia, murah dan bagus adalah dua kata yang bertentangan. Di negara ini murah selalu diartikan jelek, dan sebaliknya, bagus itu selalu berarti mahal. Oleh karena itu, jika ada mobil yang dijual dengan harga murah, konsumen enggan menengokkan kepalanya, apalagi membelinya.
Belum lagi, di Indonesia banyak orang yang membeli mobil dengan tujuan berinvestasi atau juga untuk menyimpan uang. Itu sebabnya di negara ini laris-tidaknya sebuah mobil sangat ditentukan oleh nilai harga jualnya kembali (resale value).
Khusus bagi mobil China, banyak yang harus dibuktikan jika ingin menapakkan kaki lebih dalam di pasar otomotif Indonesia, seperti apa yang telah dicapai oleh mobil Jepang. Hal-hal yang harus dibuktikan antara lain ketahanan mobil serta layanan purnajual dan ketersediaan suku cadangnya. Tanpa dapat membuktikan hal tersebut, sulit bagi mobil China untuk mendapatkan pembeli yang besar di negeri ini.
Semua itu memerlukan waktu karena waktulah yang akan membuktikan apakah mobil China itu tahan lama serta tentang layanan purnajual dan ketersediaan suku cadangnya.
Irma Cortez, seorang pramuniaga produk pembersih di Ekuador, memerlukan sebuah mobil untuk mendukung pekerjaannya. Pilihannya jatuh pada Changhe, sebuah mobil mungil, yang harga jualnya 25 persen di bawah mobil-mobil sekelasnya.
”Putri saya mengatakan, ’Jangan membeli mobil China karena mereknya belum terkenal.’ Saya juga memiliki beberapa catatan mengenai kualitasnya, tetapi mempertimbangkan kemampuan ekonomi saya, keputusan untuk membeli mobil itu rasanya masuk akal,” papar Cortez.
Mobil-mobil buatan China yang sudah lebih dari satu tahun lalu lalang di ruas-ruas jalan kota Quito, Ekuador, dengan cepat tumbuh dan ikut serta menyumbat aliran lalu lintas di kota tersebut.
Namun, seperti juga Jepang dan Korea Selatan yang telah mendahuluinya, China pun mengalami kenyataan bahwa mereka harus lebih dulu memenangi hati konsumen dengan menawarkan harga yang murah, sebelum membangun reputasi mereknya.
”Orang banyak tidak mengetahui mobil-mobil ini, mereka hanya melihat mobil-mobil itu buatan China, dan berpikir mobil-mobil itu buruk atau jelek,” kata Rafael Bader, seorang direktur komersial di Cinascar, importir mobil China yang terbesar di Ekuador, Kolombia, dan Venezuela. ”Itu adalah kenyataan yang harus kami hadapi. Keragu-raguan terhadap kualitas mobil buatan China sulit untuk digoyah,” tambahnya.
Changhe Ideal, mobil yang dipertimbangkan oleh Irma Cortez, mempunyai beberapa cacat yang bahkan terlihat oleh mata orang awam. Cacat itu mulai dari logo, cat mobil yang pada beberapa sudut kurang rapi, sampai jarak antarpanel yang tidak sama. Namun, dengan harga setara dengan 8.000 dollar AS (sekitar Rp 72 juta), apa yang dapat Anda harapkan. Itu sebabnya perusahaan pembuat mobil China lebih mudah menjual mobil di negara berkembang, yang mempunyai standar keamanan (safety) dan standar emisi cenderung lebih rendah.
Memang tidak mudah untuk membangun reputasi merek, diperlukan waktu yang lama untuk itu. Perusahaan pembuat mobil Jepang dan Korea Selatan telah mengalami hal itu. Keadaan yang sama juga berlaku di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan mobil Jepang, seperti Toyota, Nissan (Datsun), Honda, Mitsubishi, Mazda, dan Daihatsu, yang masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an mengalami hal itu. Pada tahun 1970-an, ketika pasar mobil Indonesia dikuasai oleh mobil-mobil buatan Amerika Serikat dan Eropa Barat, mobil-mobil buatan Jepang hanya dipandang sebelah mata. Pada masa itu bodi mobil Jepang tipis sehingga diejek berbodi kaleng kerupuk. Ejekan itu muncul untuk menggambarkan bahwa kualitas mobil Jepang tidak sebaik mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa.
Harga jual yang murah tidak membuat mobil Jepang menjadi laku dijual, malahan dianggap sebagai pembenaran bahwa kualitasnya tidak sebaik mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat akhirnya menerima bahwa mobil Jepang itu tidak kalah dibandingkan dengan mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa.
Apalagi ketika bahan bakar minyak (BBM) sempat langka dan harganya meningkat, banyak orang yang menengok ke mobil-mobil Jepang, yang pada masa akhir tahun 1970-an dikenal irit BBM. Secara perlahan-lahan mobil-mobil Jepang mulai mendominasi pasar mobil Indonesia.
Perusahaan-perusahaan pembuat mobil Korea Selatan, seperti Hyundai dan KIA, pun mengalami hal yang lebih kurang sama. Mobil-mobil Korea Selatan, yang masuk ke Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an, masih sulit menyaingi mobil-mobil Jepang yang sudah hadir 20 tahunan lebih dulu. Padahal dalam beberapa kasus, kualitas mobil Korea Selatan tidak kalah daripada pesaingnya dari Jepang, dijual dengan harga yang lebih murah. Memang pembeli mobil-mobil Korea Selatan bertambah dari tahun ke tahun, tetapi dari segi jumlah masih sangat jauh di bawah jumlah pembeli mobil Jepang.
Mobil China
Perusahaan pembuat mobil China pun mengalami masalah yang sama. Pada tahun 2006 salah satu mobil China, Chery QQ (baca: kiu-kiu), yang berkategori mobil kota (city car), memasuki pasar Indonesia. Chery QQ dijual pada kisaran harga Rp 75,9 juta sampai Rp 80,2 juta, di bawah harga pesaing-pesaingnya, yakni Chevrolet Spark yang dijual pada harga Rp 99 juta-Rp 109 juta, Hyundai Atoz (Rp 96,25 juta-Rp 118 juta), KIA Picanto (Rp 86,45 juta-Rp 123,8 juta), Proton Savvy (Rp 95 juta-Rp 107 juta), Subaru R1 Rp 155 juta dan Subaru R2 Rp 145 juta, serta Suzuki Karimun Estilo Rp 101,5 juta.
Dalam tahun 2007, Chery QQ terjual sekitar 800 unit. Dan, dalam tiga bulan pertama tahun 2008 (Januari sampai Maret), dari sebanyak 2.852 unit mobil kota yang terjual, Chery QQ menempati tempat ketiga dengan total penjualan sebanyak 175 unit. Urutan pertama ditempati oleh Suzuki Karimun Estilo yang dimasukkan dari India dengan penjualan sebanyak 2.048 unit dan diikuti oleh KIA Picanto dengan penjualan sebanyak 488 unit.
Di luar QQ, Chery juga hadir dengan sport utility vehicle (SUV), Tiggo 2.0. Chery Tiggo yang selintas mirip dengan Honda CRV lama itu diperkenalkan dalam Indonesian Internasional Motor Show 2007 dan dijual dengan harga Rp 147,5 juta. Dari segi harga, Chery Tiggo masuk ke dalam segmen yang ditempati Daihatsu Terios, Toyota Rush, dan Suzuki SX4. Namun, dari segi kapasitas mesinnya yang 2.0 Liter, Chery Tiggo masuk ke segmen yang ditempati oleh Chevrolet Captiva, Ford Escape, Honda CRV, Hyundai Tucson, KIA Sportage II, Mazda Tribute, Suzuki Grand Vitara, dan Nissan XTrail.
Dalam tiga bulan pertama 2008, Chery Tiggo hanya terjual sebanyak 50 unit. Jumlah itu sangat kecil bila dibandingkan dengan Daihatsu Terios (Rp 127 juta-Rp 164,5 juta) dan Toyota Rush (Rp 159,8 juta-Rp 183,8 juta) yang terjual di atas 3.000 unit. Demikian juga bila dibandingkan dengan Honda CRV (Rp 278 juta-Rp 306 juta) yang terjual sebanyak 5.715 unit.
Honda CRV diikuti oleh Suzuki Grand Vitara (Rp 206 juta-Rp 238 juta) dengan penjualan sebesar 1.785 unit, Nissan XTrail (Rp 240,5 juta-Rp 303 juta) sebanyak 503 unit, dan Chevrolet Captiva (Rp 262 juta-Rp 274,1 juta) sebanyak 333 unit.
Semua data di atas memperlihatkan bahwa harga murah saja tidak membuat sebuah mobil laku dijual, apalagi di Indonesia. Di Indonesia, murah dan bagus adalah dua kata yang bertentangan. Di negara ini murah selalu diartikan jelek, dan sebaliknya, bagus itu selalu berarti mahal. Oleh karena itu, jika ada mobil yang dijual dengan harga murah, konsumen enggan menengokkan kepalanya, apalagi membelinya.
Belum lagi, di Indonesia banyak orang yang membeli mobil dengan tujuan berinvestasi atau juga untuk menyimpan uang. Itu sebabnya di negara ini laris-tidaknya sebuah mobil sangat ditentukan oleh nilai harga jualnya kembali (resale value).
Khusus bagi mobil China, banyak yang harus dibuktikan jika ingin menapakkan kaki lebih dalam di pasar otomotif Indonesia, seperti apa yang telah dicapai oleh mobil Jepang. Hal-hal yang harus dibuktikan antara lain ketahanan mobil serta layanan purnajual dan ketersediaan suku cadangnya. Tanpa dapat membuktikan hal tersebut, sulit bagi mobil China untuk mendapatkan pembeli yang besar di negeri ini.
Semua itu memerlukan waktu karena waktulah yang akan membuktikan apakah mobil China itu tahan lama serta tentang layanan purnajual dan ketersediaan suku cadangnya.
1 comment:
Haha jadi kangen dulu lagi pas ngeTrend di jamannya haha saya masih pake Chery QQ ini dri baru 2007 sampe sekarang.. haha
Post a Comment